Kisah persahabatan masa kecil dan harapan akan cinta berikut ini memenuhi unsur intrinsik cerpen dan bisa teman-teman gunakan sebagai inspirasi cerita dalam pembuatan cerpen, teman-teman juga bisa memenuhi tugas sekolah dengan cerpen ini. Kisah berikut menggambarkan arti sebuah cinta yang terselubung dalam bingkai persahabatan. Senja menjadi latar waktu utama dalam cerita ini, senja berperan penting dalam membangun cerita ini. Silahkan tinggalkan komen untuk beberapa bagian yang mungkin menurut teman-teman perlu di benahi. So Selamat membaca dan nantikan kisah menarik selanjutnya di Arbor Azure.
Di balik suara senja
Kilau keemasan langit pertanda senja menyapa, senja yang mengingatkanku akan pertemuan yang diinginkan nasib yang membawa kita pada jalan ini. Suasana disini ternyata masih sama, tidak banyak yang berubah, angin sejuk yang berhembus lembut, suara riang tawa dari mulut-mulut kecil, suara mesjid yang anehnya menjadi penanda remaja pria mengerumuni bandes, ini semua masih sama. Suasana ini yang selalu kurindukan sejak menjadi salah satu peserta urbanisasi demi seonggok ilmu, dan kini aku kembali lagi ketempat dimana aku dulu biasa mengisi hari dengan tawa lebih banyak dari bicara seperti sekarang. Moment yang disebut urbanisatoris sebagai edisi pulang kampung menjadi hal yang selalu kutunggu setiap musim libur semester, dari segi manapun kampung tetap menyajikan perasaan damai yang membawa kesejukan hati bagi tiap penduduknya, suasana ini masih sama, benar-benar masih sama, tidak banyak yang berubah, masih sama di hari aku melepasnya pergi 12 tahun lalu.
Teori bahwa menunggu tanpa suatu kepastian perumpamaan keong berjalan entah kapan tibanya, ungkapan ini sepertinya merujuk padaku. Kesendirianku sepertinya telah menjadi alasan mencari tempat yang nyaman, ruang untuk ku sendiri. Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas.
Pulang sekolah dia tidak lupa mengunjungiku, dia selalu datang kerumah, menghabiskan waktu dengan bermain dan bersuka cita. Hari demi hari berlalu kebersamaan kami benar-benar menyenangkan. Seperti hari-hari sebelumnya dia datang mengajakku bermain, hari itu kami bermain kartu, ceritanya saya jual kartu dan dia yang berperan sebagai pembeli, tapi aku memintanya membeli bukan dengan uang kertas, tapi dengan uang sungguhan, si bodoh itu benar-benar membeli kartuku dengan uang sungguhan tanpa komplen, bukankah sosoknya benar-benar manis?????, satu hal yang membuatnya special, pribadinya, dia begitu dermawan, friendly, tidak suka cari ribut, disaat mungkin aku menawarkan kartu jelek seperti itu pada orang lain untuk dibeli mereka pasti menolak, tapi dia entah karena takut dijauhi atau apalah dia tetap membelinya. Aku memang sering menggambarkan dia dengan sosok yang bodoh tapi ternyata itu yang akan kurindukan. Suatu ketika kami juga pernah bermain kartu karena kalah, aku mengerjainya dengan mengolesi tai kambing di sisi belakang kartunya, melihat itu dia menangis dan pulang kerumahnya, tidak berselang lama dia datang lagi dengan membawa snack oleh-oleh dari orang tuanya, si bodoh itu membaginya denganku. Aku masih mengingatnya dengan jelas, meski hal ini mungkin 13 tahun lalu.
Suara teriakan saling memaki dari rumah sebelah melepas kesan malam yang sunyi, terdengar beberapa benda terjatuh atau mungkin sengaja dilempar, bukan suatu pertanyaan lagi tapi itu sudah jelas menggambarkan sedang terjadi pertengkaran hebat di rumah sebelah tapi tidak jelas antara siapa dengan siapa. Keributan berakhir setelah suara sebuah mobil berlalu. Pulang sekolah menunggunya menjadi kebiasaan bagiku, tapi,,,,, hingga sore dia tidak menemuiku. Meski ketika itu saya masih berusia sekitar 5 tahun tapi rasanya saya sudah bisa mengerti penjelasan yang membuatku benar-benar merasakan nyesak di dada ketika itu. Keributan malam itu terjadi antara ayahnya dengan kakeknya yang berakhir ketika dia dan orangtuanya angkat kaki dari rumah. 1,2,3 hari saya menunggunya berharap mereka hanya pergi sebentar, akan tetapi tidak demikian, perlahan saya mulai mengerti dia tidak akan kembali lagi. Dia pergi. Dia pergi tanpa pamit, dia pergi tanpa memperlihatkan wajahnya, saya bahkan tidak sempat memandanginya pergi apalagi melepasnya pergi, dia benar-benar pergi, tanpa meninggalkan kesan terakhir. Perpisahan tanpa kesan ini meski jaraknya dengan sekarang sudah 12 tahun saya masih mengingatnya tanpa sekalipun melupakannya.
Kisah ini tidak berakhir sampai disini, kisah kami yang sebenarnya baru saja dimulai.
Tidak terhitung hari berapa lama kami berpisah, kemungkinan 10 tahun atau bahkan lebih. Di luar kota, itulah informasi terakhir yang kuperoleh tentangnya. Pagi yang masih terhitung subuh kutembus untuk segera sampai kesekolah bukan berarti sekolah berjarak terlalu jauh dari rumah akan tetapi hari itu saya ditugaskan menjadi salah satu panitia OSPEK untuk siswa baru. Bahasanya sih pergi pagi pulang pagi, tentu berbeda yahh saya hanya pergi pagi, pulang malam. Sebagai panitia saya wajib datang lebih awal dari siswa baru untuk menyiapkan keperluan OSPEK dan tentunya untuk menghukum peserta yang terlambat demi melatih kedisiplinan mereka. OSPEK di SMA berlangsung selama 3 hari dan rata-rata panitia diperbolehkan pulang setelah maghrib karena harus merapikan sisa kegiatan OSPEK.
Di penghujung acara pada hari ketiga untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku mendengar kabar tentangnya. Dia datang mencariku di rumah pada pagi hari, di hari terakhir OSPEK, seperti dua hari sebelumnya saya harus berangkat pagi-pagi sekali. Akhirnya, dia tidak bisa menemuiku, ketika sore dia datang lagi dengan tujuan yang sama, hanya untuk menemuiku, sayangnya hasilnya sama kami tidak bisa bertemu dikarenakan saya masih bertugas di sekolah saat itu. Setidaknya itulah yang dikatakan Mama ketika menjemputku di sekolah. Memasuki lorong rumah dengan terbebani perasaan kecewa dan sedih membuatku berharap bisa menariknya kembali ke dimensi dimana kami bisa bertemu.
Malam itu, cahaya terang lampu mobil memapar wajahku, saya menganggapnya biasa saja tapi sepertinya saya harus menanggung kecewa yang jauh lebih berat dari sebelumnya, tiba di depan rumah orang-orang yang mengetahui pertemanan kami entah kenapa mereka mencoba menghentikan mobil tadi dengan meneriakinya tapi mobilnya sudah terlalu jauh untuk mendengar teriakan mereka. Ternyata dia, orang yang selama ini kutunggu berada di mobil itu sebuah penyesalan terus membayangiku kenapa aku tidak memandang kemobil itu mungkin aku bisa melihat wajahnya, setidaknya itu akan sedikit mengobati penasaranku akan dirinya sekalipun tidak bisa menemuinya.
Waktu menjadi obat penawar akan kekecewaan ini, dengan mencoba melewati hari demi hari dengan harapan bisa menemui kesempatan lain untuk bertemu dengannya lagi.... Namun, keadaan seperti kembali ke keadaan dimana dia dulu pergi tanpa meninggalkan pesan. Hingga penantian ini seakan masih abu-abu dintara yakin dia akan datang lagi atau dia tidak akan kembali....
Hingga tiga tahun berikutnya...
Sebagai anak kuliahan moment libur semester sebagian besar di peruntukkan untuk pulang kampung. Malam sebelum pulang HP ku tiba-tiba berdering, tentu saja itu bukanlah hal yang aneh, tertera nama Mama di screennya. Suara sapaan mulai terdengar lembut melalui HP itu, tapi kemudian saya tertegung tanpa bisa berbuat apa-apa mendengar apa yang dikatakan oleh Mama.
Dia, teman yang selama ini kutunggu, ternyata telah datang kerumah untuk mencariku, tapi lagi-lagi kami belum bisa bertemu, melalui Mama dia mengambil nomer HP saya. Semalaman saya berusaha menatap HP sesering mungkin berharap ada panggilan atau sekedar SMS dari nomer baru (WA belum terkenal waktu itu), tapi hingga saya berangkat pulang tidak ada sapaan melalui ponsel.
Menempuh perjalanan yang cukup lama, membuatku tiba dengan tubuh yang sangat lelah. Beristirahat merupakan hal pertama yang kulakukan sebelum dinner bersama keluarga. Seharian tidak berurusan dengan HP mebuatku mengambilnya dari tas terlihat tanda ada pesan masuk, itu bukanlah hal yang spesial, itu bisa saja, itu hanya dari operator kartu, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku, ku buka pesan itu untuk memastikan tidak ada lagi tanda pesan masuk tertera di walpaper HP, di pesan itu tertulis.
“HY , ini Jeasi bukan?” pesan itu berasal dari nomor baru ‘gumam hatiku’.
Meski yakin pesan itu dari dia, kubalas dengan cuek, demi pencitraan diri agar terlihat jual mahal gitu,
“iya Jesy, ini siapa?” demikian kata balasanku, kupandangi terus HP itu untuk menunggu balasan darinya, inbox berikutnya dia mulai meperkenalkan diri
“ini saya teman kecilmu dulu, still remember me?”
“teman? yang mana?” meski dengan keyakinan penuh bahwa inbox itu darinya, aku masih membalasnya dengan nada dingin. Senyum cibir dan berguling kanan dan kiri depan ponsel menjadi hal yang tanpa sadar ku lakukan.
“ini aku keponakannya tante Rani tetangga kamu dulu?” balasnya kemudian.
“oh itu kamu??? iya aku ingat” balasku dengan muka sumbringah sambil menanti balasan selanjutnya.
Kami terlibat percakapan panjang malam itu, dia bilang tidak pernah lupa sama aku, diantara teman-temannya dulu, satu-satunya yang dia ingat hanya aku, aaaaiiiiiiiiiiii aku bahagiiiiiia, dengan bibir senyum tertahan serta mata yang tertutup dan hati yang terus mendesah membuat nafas ini terasa nyessak seakan mendesak untuk melemparkan diri ke kasur sambil guling-gulig menggenggam ponsel, dengan teriakan tertahan oleh gigitan di bantal, bunga terasa bermekaran meski sedang layu, bintang terlihat terang meski sedang mendung, malam terasa panjang meski sebenarnya sama saja dengan malam-malam kemarin, aku untuk pertama kalinya benar-benar melayang di buatnya. Sore hari aku mendapat susulan SMS darinya dia mengajakku kepantai, aku terus mengipasi diri meski sedang tidak kepanasan, aku penasaran seperti apa rupa dan wajahnya setelah lebih 10 tahun berpisah dengannya. Wajah yang terbayang dibenakku hanyalah wajah yang digambarkan oleh Mama ketika mereka bertemu, dengan modal pengetahuan dia tinggi dan berkulit sawo matang aku terus berusaha menggambarkan seperti apa dia.
Dia datang kerumah, iya itu benar dia, kutatap dirinya yang sedang berjalan perlahan menapaki jalan menuju rumahku dia begitu wonderful dengan iringan cahaya matahari sore, tiupan angin yang begitu lembut menghempasnya, menerbangkan sebagian kecil helai rambutnya yang seakan luluh berjatuhan, dia begitu indah dengan tatapan kecil dan secuai senyum manis di bibirnya, tak kulewatkan kesempatan menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, dia benar-benar W O W.
Dengan suara lembut dia menyapaku, dengan sedikit terkejut aku seakan bangun dari mimpi. Kami kemudian menuju pantai, meski tiba disana sedang ada perlombaan balapan motor suara bising motor tidak sanggup mengalihkan fokusku untuk mendengar suaranya, itu benar-benar sore yang amazing. Kami menghabiskan waktu dengan memandangi lautan yang begitu indah diterpa cahaya senja meski hanya duduk dan menikmati jajanan pantai, kebersamaan kami terasa istimewa karena dibalut oleh norma-norma adat sosial yang menjunjung tinggi ajaran Islam, dibanding menghabiskannya seperti kebanyakan anak muda disana yang pegangan tangan atau gandengan kami bersih dari hal itu.
Diperjalanan, dia mengatakan pulang dari pantai dia sudah akan berangkat kembali ke kotanya. Meski kawatir nostalgia kepergiannya dulu terulang, kali ini dia berangkat dengan berpamitan terlebih dahulu. Kalau dulu aku berharap agar ketika dia harus pergi, dikepergiannya aku bisa menatapnya hingga hilang dari pandangan, kini aku bisa melakukannya sepuas hati, meski tanpa kata, dia sepertinya ingin membayar apa yang telah terlewati dulu.
Kedamaian terasa berirama berjalan beriringan dengan awan memerah sang senja, suara riang, riak-riuk anak kampung bermain, berbarengan dengan terpaan melodi suara mesjid sebagai penanda maghrib segera tiba. Tertegung merenung menyadari, aku benar-benar harus dan telah melepaskannya pergi untuk ke tiga kalinya. Berharap semoga takdir kan membawa hembusan angin pengantar pertemuan kesekian kalinya untuk kami, semoga takdir membawa hubungan kami menuju ke kemuliaan abadi,,,,,,,
Hingga saat ini aku masih, masih menunggumu ,,,,, Senja.
Terimakasih, telah membaca cerpen ini semoga dapat menghibur dan bermanfaat jangan lupa kunjungi terus arborazure untuk kisah seru lainnya.
Cerpen: Di Balik Suara Senja
Reviewed by Arbor Azure
on
July 31, 2019
Rating:
Good
ReplyDelete