Recent Posts

Akal dan Hati pada Abad Pertengahan dengan Tokoh Plotinus, Augustinus dan Thomas Aquinus

Biografi, pemikiran dan karya plotinus, agustinus, dan thomas aquinus
Kali ini kita akan membahasa tentang biografi dan pemikiran para Tokoh filsafat mulai Plotinus, Augustinus, dan Thomas Aquinus. Simak penjelasannya berikut sobat Azure and thanks to St. Agustina dan Putri Sakinah.

1. Plotinus
a. Riwayat Hidup

Filsafat Yunani kuno mencapai puncaknya pada masa Plotinus. Plotinus lahir di Mesir tahun 204. Ia tertarik pada filsafat, karena itu ia datang ke Alexandria untuk menemui seseorang yang terkenal ahli dalam filsafat, khususnya filsafat Plato.  Orang yang ia datangi itu bernama Animonius Saccas. Selama kurang lebih sebelas tahun, ia belajar filsafat kepadanya.
Keingintahuannya yang besar pada ilmu pengetahuan dan kebudayaan, pada tahun 243 telah mendorong Plotinus untuk ikut dengan Raja Gordianus III dalam agresi militernya melawan Persia. Kesempatan itu tidak ingin di sia-siakan. Dengan mengikuti agresi, sebenarnya ia ingin mempelajari kebudayaan Persia dan India. Namun sayang, sebelum ia sempat mempelajarinya, Raja Gordianus pada tahun 244. Tentu saja, ia harus melarikan diri dari Persia jika tidak ingin terbunuh atau dijadikan tawanan perang. Dengan susah payah, ia melarikan diri ke Antioch (Antakya) lalu menuju kota Roma. Nasib baik ternyata masih berpihak padanya. Di sana, ia menjadi pemikir terkenal. Ia meninggal pada tahun 270 di Minturnae, Campania, Italia.

b. Karya-Karya
Salah satu murid Plotinus yang bernama Porphyry telah berusaha mengumpulkan karya-karya Plotinus. Porphyry mendapatkan karya Plotinus yang terdiri dari 54 tema, yang kemudian ia kelompokkan menjadi enam jilid. Masing-masing jilid terdiri dari sembilin tema. Seluruh karyanya yang telah dijadikan enam jilid itu diberi nama Ennead, masing-masing sebagai berikut:
1) Ennead jilid pertama berisi masalah etika dan kematian;
2) Ennead jilid kedua berbicara tentang kosmologi dan kritik tajam atas agnostisme;
3) Ennead jilid ketiga membahas masalah ketuhanan, keimanan, kekekalan, waktu dan keteraturan alam;
4) Enned jilid keempat mengkaji masalah tubuh (indra), ingatan, fungsi, dan imortalitas jiwa;
5) Ennead jilid kelima kelima mengulas masalah roh ilahi (divine spirit) dan idea; serta
6) Ennead jilid keenam mengurai masalah kebebasan kehendak (free will), tentang ada dan realitas.
  
c. Filsafat
1) Tentang Yang Esa (The One)

Plotinus terkenal sebagai pendiri aliran neoplatonisme. Dikatakan Platonisme karena inspirasi utama dalam filsafatnya berasal dari pemikiran Plato. Selain dari pemikiran Plato, sebenarnya ia juga terinspirasi dari pemikiran filsafat Timur (Mesir, Persia, dan India), sehingga dalam filsafatnya terlihat menyintesiskan berbagai aliran filsafat yang ia ketahui pada masanya. Hal ini tak lepas dari kebudayaan Hellenisme yang sampai ke Mesir, Persia, dan India. Dengan demikian, Hellenisme telah membuka peluang untuk memasukkan elemen pemikiran di luar Yunani dalam khazanah pemikiran filsafat Yunani.
Titik tolak filsafat Plotinus adalah pemikirannya mengenai Yang Esa (Yunani: to hen; Inggris: the one). Yang Esa terkadang ia sebut sebagai Yang Baik. Selain itu, Yang Esa sering ditafsirkan oleh beberapa pembacanya sebagai “Tuhan”, “Allah”, “Keilahian Tertinggi”, dan “Mahatinggi”.
Lalu, siapakah Yang Esa menurut Plotinus? Menurut Plotinus, Yang Esa tidakdapat diketahui, Yang Esa tidak  dapat dipikirkan, Yang Esa tidak dapat dibicarakan, dan Yang Esa tidak bisa diidentifikasi. Mengapa demikian? Sebab, menurut Plotinus, Yang Esa adalah realitas yang negatif. Dalam artian, realitas yang tidak bisa diidentikkan dengan segala sesuatu di alam semesta ini. Yang Esa adalah Yang Esa itu sendiri, bahkan kalau perlu ia juga tidak perlu disebut Yang Esa, karena tidak bisa dibicarakan. Barangkali hanya diam yang bisa membahasakannya. Bahkan, diam pun belum tentu juga bisa mewakilinya karena saking negatifnya. Tetapi, kata-kata “Yang Esa” mungkin paling cocok bagi Plotinus untuk menyebut Yang Tak Terkatakan dan Tak Terpikirkan.
Monurut Plotinus, Yang Esa adalah sumber sekaligus muara segala sesuatu. Maksudnya, segala sesuatu berasal dari Yang Esa dan Yang Esa menjadi tujuan segala yang ada. Bagaimana hal ini terjadi?

a) Yang Esa sebagai Sumber
Yang dimaksud dengan Yang Esa sebagai sumber yaitu segala yang ada mengalir dari kelimpahan Yang Esa. Ibarat sumber air di dalam sumur, airnya melimpah atau meluap keluar dari sumur. Jadi, Yang Esa itu melimpah dan limpahannya menjadi segala sesuatu. Meskipun Yang Esa mengalir, sebagai pusat aliran kesempurnannya sama sekali tidak terkurangi. Dia tetap utuh. Proses melimpahnya ini sering pula diibaratkan matahari yang mengeluarkan cahaya. Cahaya merupakan segala sesuatu. Dan, matahari sebagai sumber cahaya tidak pernah terkurangi hakikatnya. Proses melimpahnya atau mengalirnya Yang Esa ini disebutemanasi. Teorinya dinamakan teori emanasi dan banyak mempengaruhi para filsuf sesudah Plotinus.
Teori emanasi atau pencahayaan (perilampsis) dapat dibedakan menjadi tiga macam. Dan, ketiganya sekaligus sebagai pemahaman dalam proses emnasi. Pertama, dari Yang Esa, melimpah berupa akal budi (nous). Ide-ide Plato dapat disejajarkan dengan akal budi. Akal budi ini mempunyai aktivitas yaitu memikirkan dirinya sendiri. Dari sini pula dikatakan bahwa akal budi pada dirinya sendiri terdapat dualitas, yaitu yang memikirkan dan yang dipikirkan. Kedua, dari akal budi, melimpah berupa jiwa (psyche). Di sini, terdapat dua jiwa yang melimpah dari akal budi, yaitu jiwa dunia dan jiwa tiap-tiap individu. Ketiga, dari jiwa, melimpah materi (hyle). Jiwa dunia membuat harmoni seluruh jagad raya, sedangkan jiwa tiap-tiap individu bersatu dengan materi.
Karena materi merupakan unsur yang paling jauh dan terakhir dari proses emanasi, maka materi dikatakan paling kurang kesempurnaannya, paling buruk, bahkan sumber dari segala bentuk kejahatan. Ibarat cahaya yang semakin tidak terang, bahkan ujung dari cahaya adalah kegelapan. Maka dari itu, Plotinus menyebut materi sebagai unsur kegelapan.
Menyatunya jiwa dengan materi telah mengaburkan jiwa manusia untuk melihat akal budi atau dunia ide-ide, terlebih untuk melihat Yang Esa, sebagai sumber dirinya yang pertama dan tujuan terakhir dirinya.

b) Yang Esa sebagai Muara
Yang Esa sebagai muara maksudnya bahwa segala sesuatu yang mengalir darinya akan kembali padanya. Manusia yang merupakan materi dan jiwa, apabila tidak ingin berada dalam kegelapan terus-menerus, maka manusia bisa melakukan pendakian menuju muaranya (Yang Esa), sehingga dirinya mendapat pencerahan. Manusia bisa melakukan pendakian karena dalam dirinya terdapat cinta (eros), yakni kehendak atau daya pendorong menuju Yang Esa. Dalam pendakian itu, manusia harus menjalani proses yang disebut pemurnian (katharsis).
Dalam proses pendakian tersebut, terdapat tiga langkah atau cara sebagai berikut:
Melalui kesenian. Melalui kesenian, manusia dapat di bawa pada keindahan indrawi, kemudian berlanjut pada pengertian mendalam mengenai keindahan. Dari sini, manusia bisa menemukan hakikat keindahan dan kebenaran yang sejati. Jadi, kesenian sangat penting bagi manusia untuk menemukan hakikat keindahan dan kebenaran sejati.
Berfilsafat. Setelah melalui kesenian manusia dapat melanjutkan ke ranah yang lebih tinggi, yaitu berfilsafat. Lewat berfilsafat, manusia akan mendapatkan pencerahan, yaitu dapat mengenali dunia ide-ide (akal budi).
Ekstase. Ekstase adalah langkah terakhir untuk sampai pada penyatuan diri dengan dengan Yang Esa. Untuk sampai pada penyatuan diri dengan Yang Esa. Untuk sampai pada ekstase, manusia harus melakukan kontenmplasi dan askese (laku-tapa), seperti berpantang dari hal-hal tertentu atau berpuasa, akan melakukan selibat. Semua ini dilakukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada dunia materi, sehingga pada akhirnya dapat menyatu dengan Ilahi (Yang Esa).



B. Augustinus
1. Riwayat Hidup
Agustinus yang memiliki nama panjang Markus Aurelius Augustinus lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria), Afrika Utara, pada tahun 354. Ayahnya, Patricius, yang dianggap kafir karena tidak memeluk agama Kristen hingga kematiannya, adalah seorang pejabat pada Kekaisaran Romawi. Sedangkan ibunya, monica, adalah penganut Kristen yang saleh.
Pada usia sekitar 16 tahun, Augustinus pergi ke Cartago. Di kota tersebut, ia belajar filsafat Yunani Kuno. Ketika menjadi mahasiswa disana, ia tinggal bersama seorang wanita di luar nikah. Ada yang menggambarkan wanita ituadalah gurunya. Dari hubungannya dengan wanita itu, ia memiliki anak bernama Aedodatus.
Awalnya, Augustinus menganut ajaran manikeisme. Nama manekeisme ini berasal dari nama pendirinya, Mani. Manikeisme mengajarkan dua prinsip dasar yang bertentangan, yaitu “yang baik” (cahaya, Allah, roh, naus) dan yang jahat (kegelapan, materi). Akan tetapi, Augustinus belum menemukan kedamaian dalam ajaran ini. Karena itulah, ia meninggalkan ajaran manikeismedan beralih menganut skeptisisme yang mengajarkan bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran.
Namun, skeipitisme Augistinus juga tak bertahan lama. Ia kemudian beralih menganut ajaran neoplatonisme setelah membaca karya Plotinus, Enneade. Ajaran terakhir ini telah mengantarkannya untuk  menganut ajaran yang paling terakhir diyakininya, yaitu ajaran Kristen. Ia merasa nyaman dengan ajaran Kristen, sehingga seluruh kehidupannya diserahkan pada kepentingan Tuhan Kristen. Karena itulah, pada tahun 392, ia ditahbiskan menjadi imam. Melihat reputasinya yang semakin cemerlang, empat tahun kemudian ia diangkat sebagai uskup Hippo.
Akhirnya, pada tahun 430, Augustinus meninggal dunia dalam keadaan kesucian dan kemiskinan, karena seluruh hartanya diwariskan pada kepentingan ajaran Kristen dan ummat. Jasanya yang terbesar ialah (dapat dikatakan sebagai orang pertama yang) “merumuskan filsafat Kristen” dan sangat berpengaruh terhadap pemikiran filsuf-filsuf sesudahnya di Abad Pertengahan.

2. karya-karya
Augustinus memiliki beberapa buku. Diantara buku-bukunya, dua karya yang barangkali paling terkenal adalah sebagai berikut.
a. Confession (pengakuan sekaligus pujian-pujian pada Allah)
b. De Civitate Dei (The City of God tentang komunitas Allah)

3. Filsafat
a. Menolak Skeptisisme
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Augustinus pernah menganut skeptisisme namun akhirnya meninggalkannya. Lantas, apa dasar penolakannya terhadap paham tersebut? Augustinus memang percaya bahwa dirinya (aku) dapat menyaksikan segala sesuatu diluar aku. Atau, aku dapat meragukan kepastian segala sesuatu. Akan tetapi, ketika aku menyaksikan segala sesuatu, ada yang tidak dapat aku saksikan, yaitu kepastian bahwa aku sedang menyaksikan segala sesuatu. Karena itu, baginya, harus ada yang diterima bahwa pasti ada aku yang sedang menyaksikan atau ragu-ragu. Dalam hal ini, semboyangnya yang terkenal adalah “Kalau keliru, aku ada” (Si enim fallor, sum) atau “Aku ragu-ragu maka aku ada”.
Dalam ungkapan lain, dirinya yang sedang ragu atau sangsi menurut Augustinus, tidak dapat diragukan. Bahkan meragukan dirinya yang sedang ragu semakin memperkuat bahwa dirinya ada. Di luar dirinya yang sedang ragu boleh ditolak, tetapi dirinya yang sedang ragu tidak dapat diragukan. Bagaimana mungkin dirinya tahu sedang ragu jika tidak ada? Oleh karena itu, skeptisisme tidak bisa menolak dirinya yang sedang ragu. Dengan argumennya ini, Augustinus telah meruntuhkan skeptisismenya yang meragukan segalanya.
b. Tentang Sumber Pengetahuan
Dari kritiknya terhadap skeptisisme, Augustinus kemudian merumuskan tentang sumber pengetahuan manusia. Menurutnya, di dalam diri manusia terdapat perangkat alamiah untuk menggapai pengetahuan atau kebenaran. Perangkat itu adalah indra. Akan tetapi, indra tidak dapat menangkap pengetahuan tanpa adanya ide-ide rohani (di sini terdapat pengaruh ajaran Plato mengenai ide-ide). Ide-ide rohani ini dipancarkan (Iumen, Latin) dari Tuhan.
Hal tersebut dapat diibaratkan seperti matahari yang menerangi penglihatan kita. Mata adalah perangkat alamiah untuk mengetahui, sedangkan ide-ide adalah sang surya. Tanpa sang surya, mata tidak dapat melihat karena tidak ada yang meneranginya. Dengan demikian, lewat sang surya, yang dipancarkan oleh Tuhan inilah, maka kita bisa mengetahui. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam epistimologi Augustinus, Tuhan adalah guru yang mengajarkan pengetahuan terhadap manusia. Jika Tuhan tidak mengajarkan pengetahuan, manusia tidak akan pernah memiliki pengetahuan. Pengetahuan atau ide-ide yang dimiiki manusia bersumber dari Tuhan.
Dengan pendapatnya itu, Augustinus sebenarnya memperjelas ide-ide Plato. Dari mana datangnya ide-ide itu? Bagi Plato, ide-ide berdiri sendiri, namun bagi Augustinus, ide-ide diciptakan oleh Tuhan.
c. Tentang Penciptaan Alam Semesta
Pandangan Augustinus mengenai alam semesta sangat berbeda dengan para filsuf Yunani pada umumnya yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari bahan atau materi tertentu, seperti air, api, tanah, udara, atom, dan sebagainya. Menurut Augustinus, alam semesta diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan (cratio ex nihilo) atau lebih tepatnya Tuhan menciptakan alam semesta ini tidak menggunakan materi apapun. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan alam semsta tidak menggunakan materi, tetapi langsung menjadikannya.
Jadi, materi, ruang, dan waktu yang dapat kita indra serta rasakan ini, menjadi ada setelah Tuhan menciptakannya. Sebelumnya, tidak ada hal-hal tersebut. Karena itulah, alam semesta tidak abadi dan bisa rusak. Sebab, alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Yang abadi hanyalah Tuhan itu sendiri, sebagai pencipta alam semesta.
d. Tentang Negara
Dalam karyanya, De Civitate Dei, Augustinus mengulas ajaran tentang negara, politik, dan sejarah. Karya ini dilatarbelakangi oleh fenomena kemunduran kejayaan Kekaisaran Romawi akibat direbut dan dirampok oleh pasukan Alarik. Kejadian tersebut telah memunculkan keraguan dan pertanyaan pada masyarakat Romawi. Banyak masyarakat Romawi bertanya, mengapa Romawi yang semula jaya menjadi lemah? Mengapa Romawi bisa dirampas oleh bangsa-bangsa dari Utara?
Sebagian besar masyarakat Romawi memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu mereka menganggap bahwa kemerosotan dan perampasan itu terjadi akibat ketidakpatuhan orang-orang Romawi terhadap dewa-dewa dan penerimaan mereka terhadap agama Kristen. Karena jawaban inilah, banyak orang Romawi yang sudah memeluk agama Kristen mulai meragukan agama Kristen, lantaran mereka menganggap Tuhan dalam agama Kristen tidak mempunyai kekuatan atas alam semesta ini. Buktinya, Romawi bisa jatuh ke tangan orang-orang luar.
Nah, untuk menjawab permasalahan tersebut, Augustinus menulis buku De Civitate Dei (The City of God). Buku yang ditulis selama 13 tahun tersebut terdiri dari dua belas jilid. Tujuan yang paling penting dari penulisan buku itu tentu saja adalah untuk menghapus keraguan masyarakat Romawi khususnya, terhadap agama Kristen. Namun,disamping itu, buku tersebut juga berisi pandangan-pandangan Augustinus mengenai sejarah yang tosentris dan filosofis.
Augustinus berpedapat bahwa dalam sejarah manusia terdapat dua kerajaan yang saling mempengaruhi batin manusia, yaitu “kerajaan Tuhan” dan “kerajaan dunia”. Kerajaan Tuhan kurang lebih diwakili Gereja, sedangkan kerajaan dunia diwakili oleh negara, seperti kekaisaran Romawi. Ia juga menegaskan bahwa kerajaan dunia tidak boleh diidentifikasi dengan kerajaan Tuhan. Karena itulah, kemerosotan Kekaisaran Romawi tidak ada sangkut pautnya dengan kerajaan Tuhan yang terdapat dalam iman atau kepercayaan.
Lebih jauh Augustinus menegaskan bahwa kerajaan Tuhan (komunitas Allah) yang terdapat di gereja akan menjadi sempurna pada akhir zaman. Sementara, kerajaan dunia (komunitas duniawi) yang menampak pada negara akan mengalami kehancuran diakhir zaman. Dengan demikian, pertempuran antara kerajaan Tuhan dan kerajaan dunia yang mengiringi sejarah manusia pada akhirnya akan dimenangkan oleh kerajaan Tuhan.

C. Thomas Aquinas
1. Riwayat Hidup
Filsuf terbesar di zaman Skolastik adalah Thomas Aquinas. Filsafatnya dipelajari di semua institusi pendidikan Katolik, lantaran sistem filsafatnya sangat bersesuaian serta mendukung ajaran agama Kristen. Dan, semua ini telah dibakukan oleh Leo XIII pada tahun 1879.
Thomas Aquinas lahir di Roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dan meninggal di Lyons pada tahun 1274. Ia adalah putra dari Pangeran Aquino. Jadi, ia lahir dari kalangan bangsawan terkemuka. Selama tahun 1239-1244, ia belajar di Universitas Fredrick II Napoli. Di sana, ia menjadi anggota Dominican kemudian pergi ke Cologne untuk menjadi murid Albertus Magnus yang terkenal sebagai ahli Aristotelian.
Selanjutnya, ia meneruskan studinya ke Universitas Paris. Usai menyelesaikan studinya, ia kembali ke Italia. Namun, tak lama kemudian ia kembali lagi ke Universitas Paris untuk belajar telogi, dan pada tahun 1256 mendapatkan ijazah (Iicentia Docendi) di bidang teologi. Selanjutnya, sejak tahun 1252, ia menjadi dosen di Paris dan Italia. Ia menghabiskan sisa hidupnya di Italia.

2. Karya-Karya
Karya-Karya Thomas Aquinas yang terkenal antara, antara lain:
1. De Ente et Essentia (berisi tentang “pengada” dan hakikat)
2. Summa Contra Gentiles (berisi tentang ikhtisar melawan orang-orang kafir), dan
3. Summa Theologiae (berisi tentang ikhtisar teologi).

3. Filsafat
a. Tentang Pengetahuan Iman dan Akal
Thomas Aquinas memadukan antara iman dan akal dalam pemikiran filsafatnya. Baginya, antara wahyu yang diimani dan filsafat sebagai hasil berpikir manusia tidak mungkin bertentangan. Dengan alasan wahyu dan filsafat atau imam dan akal, keduanya berasal dari Tuhan, maka baik pengetahuan yang dipahami lewat wahyu (teologi) maupun diperoleh melalui berpikir (filsafat) pada akhirnya akan sampai pada kebenaran sejati.
Thomas Aquinas menyadari bahwa akal memiliki keterbatasan. Pengetahuan yang tak dapat diindra tidak sepenuhnya dapat diketahui oleh akal. Maka, akal perlu bantuan wahyu untuk mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal yang tidak dapat diindra, seperti kehidupan setelah mati dan penebusan dosa. Akan tetapi, akal dapat membantu membangun pemahaman atas konsep-konsep keimanan yang terdapat pada wahyu.
Sehubungan dengan hal itu, teori filsafat pengetahuan Aquinas dapat dibagi dua jalur, yaitu iman dan akal. Jalur iman dimulai dari wahyu dan didukung oleh akal, sedangkan jalur akal dimulai dari manusia kemudian berakhir pada Tuhan. Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa dalam pemikirannya, Aquinas menerima akal dan wahyu lantaran keduanya dapat membawa manusia ke jalan kebenaran yang ditunjukkan oleh Tuhan.

b. Tentang Metafisika
            Dalam menjelaskan maslah metafisika atau ontology, Thomas Aquinas banyak meminjam istilah dari Aristoteles dan dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, seperti mengenai materi dan bentuk, potensialitas (potentia) dan aktualitas (actus), serta substansi dan eksistensi.
Aquinas sependapat dengan Aristoteles mengenai adanya materi dan bentuk di alam semesta. Materi adalah bahan yang memiliki kemungkinan (potential) untuk menjadi segala sesuatu yang baru (actus), sedangkan bentuk adalah prinsip yang memberikan cara berada pada materi sehingga materi menjadi kenyataan (aktualisasi). Dengan kata lain , materi berpotensi untuk berubah, dan bentuklah yang menjadi baju bagi materi sehingga materi menjadi nyata sebagaimana teriindra pada saat ini.
Bagi Aquinas, materi dan bentuk tidak dapat dipisah atau keduanya tidak bisa berdiri sendiri. Artinnya dimana ada materi, disitu ada bentuk. Demikian sebaliknya, dimana ada bentuk, disitu ada materi, walapun materi memiliki kemungkinan untuk menjadi yang lain. Sebagai contoh, ayam yang berasal dari telur. Anggaplah ayam sebagai bentuk dari materi awal berupa telur. Anggaplah ayam sebagai bentuk dari materi awal berupa telur. Pada hakikatnya, telur sebagai materi, sebagaimana yang kita ketahui, sebelum menjadi ayam atau berbentuk ayam, sudah memiliki bentuk, yaitu berupa telur. Sedangkan, dalam bentuk ayam juga terdapat materi, yaitu bahan yang menyusun bentuk ayam. Demikianlah, materi dan bentuk selalu hadir bersamaa. Selain itu, Aquinas berpandangan bahwa pada seluruh makhluk terdapat esensi dan eksistensi. Esensi adalah hakikat sesuatu, sedangkan eksistensi adalah cara beradanya sesuatu. Sebagai contoh, esensi dan eksistensi yang ada pada manusia. Esensi manusia adalah makhluk rasional. Sebagai makhluk rasional, maka manusia berpikir dan bertindak. Berpikir dan bertindak inilah yang dimaksud eksistensi, yaitu cara berada manusia. Seandainya manusia tidak berpikir dan bertindak, barangkali manusia tidak akan disebut bereksistensi.
Menurut Aquinas, esensi dan eksistensi hanya dapat diterapkan pada makhluk Tuhan, sementara Tuhan sendiri tidak memiliki struktur tersebut. Tuhan itu tunggal. Tuhan adalah actus murni. Maksudnya, Tuhan itu tidak mengalami perubahan sebagaimana yang terjadi pada materi yang terdapat pada makhluk. Esensi dan Eksistensi Tuhan adalah sama.

c. Tentang Teologi Naturalis
            Thomas Aquinas mengajarkan tentang kemampuan manusia untuk mengenal Tuhannya lewat akal budinya. Kemapuan akal untuk mengetahui Tuhan ini disebut “teologi naturalis” dan ini sekaligus menjadi bukti bahwa filsafat tidak bertentangan dengan wahyu. Lantas, bagaimana akal dapat mengetahui Tuhan?
            Sehubungan dengan persoalan tersebut, Aquinas mengajukan lima argument, atau dalam bahasanya, “lima jalan” (Quinque Viae) pembuktian adanya Tuhan melalui akal. Kelima argument tersebut adalah sebagai berikut :
1)            Argumen pertama didasarkan pada adanya gerak (motus) di alamfisik. Aquinas mengatakan bahwa semua gerak dan perubahan di dunia ini tidak terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang menggerakkan. Siapakah yang menggerakkan itu? Di sini, ada rangkaian gerak-menggerakkan. Sesuatu yang bergerak karena digerakkan oleh yang lain; yang lain yang menjadi penggerak juga digerakkan oleh yang lain; dan seterusnya. Akan tetapi, gerak-menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas sampai tak terhingga. Maka, harus diterima adanya penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain lagi. Penggerak pertama ini, oleh Aquinas, disebut Tuhan. Jadi, Tuhan ada.
2)            Argumen kedua berangkat dari sebab-akibat (ex ratione causae efficiens). Di dalam dunia ini, kita menyaksikan bahwa setiap akibat mempunyai sebab. Tidak ada sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri. Andaikan hal tersebut ada, yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri tentu harus mendahului dirinya. Ini mustahil. Sebab, bagaimana Aku menciptakan Aku? Oleh karena itu dalam kenyataan terdapat rangkaian sebab-akibat yang tidak mungkin tak berhingga, maka harus ada penyebab pertama yang tidak lain disebabkan oleh sebab yang lain. Penyebab pertama ini adalah Tuhan. Jadi, Tuhan ada.
3)            Argumen ketiga berasal dari adanya kemungkinan dan keniscayaan (ex possibili et neccessario). Maksudnya, dalam kenyataan di dunia ini, kita menemukan hal-hal yang bias ada dan bias tidak ada. Atau, bias ada, berkembang, lantas hancur menjadi tidak ada. Dengan demikian, secara logis, sebagaimana yang kita ketahui, apa yang tidak ada hanya dapat berada jika diadakan oleh sesuau yang telah ada sebelumnya. Yang telah ada sebelumnya ini tentunya tidak akan mengalami perubahan atau diadakan oleh yang lain dan menjadi musnah. Jika diadakan oleh yang lain, tentu tidak mungkin karena bakal ada sebab-sebab yang tak berhingga. Oleh karena itu, harus diterima sesuatu yang niscaya dan perlu yang tidak disebabkan oleh yang lain lagi. Itulah Tuhan. Jadi, Tuhan ada.
4)            Argumen keempat memperhatikan tingkatan (hierarki) derajat segala sesuatu di alam ini (ex gradibus qui in rebus inveniuntur). Sebagaimana bias kita saksikan segala hal di dunia ini memiliki tingkatan derajat yang tidak sama, ada “yang lebih” ada “yang kurang”. Misalnya, dalam hal kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan. Ada yang baik dan ada yang lebih baik, ada yang indah dan ada yang lebih indah, serta ada yang sempurna dan ada yang lebih sempurna. Tingkatan derajat ini hanya mungkin dikatakan Karena ada tingkatan derajat yang lebih tinggi. Karena, tingkatan derajat yang lebih tinggi menjadi sebab tingkatan derajat di bawahnya. Sesuatu menjadi lebih sempurna karena ada tingkatan derajat sempurna di bawahnya. Tetapi, “yang kurang” ataupun “yang lebih” menjadi mungkin karena ada yang “super” atau “paling”, yaitu paling baik, paling indah, dan paling sempurna. Ukuran superelatif atau yang melebihi segala-galanya tiada lain selain Tuhan. Jadi, Tuhan ada.
5)            Argumen kelima berdasarkan keteraturan alam (ex gubernatione rerum). Segala ciptaan yang tidak berakal akan bergerak atau bertindak menuju tujuan akhirnya yang terbaik, seperti matahari, bulan, dan bintang yang bergerak mencapai tujuannya yang terbaik. Dan, segala ciptaan yang tidak berakal itu tidak mengetahui proses tujuan tersebut. Karena tidak berakal, mestinya ia tidak mampu mencapai tujuan akhir itu bias tercapai? Karena itulah, tidak mungkin hal tersebut terjadi secara kebetulan. Dengan kata lain, pasti ada yang mengaturnya atau menyelenggarakannya. Dan, yang mengatur serta mengarahkan itu pasti ada, berakal, dan mengetahui. Itulah pengatur dan peyelenggara tertinggi yang disebut Tuhan. Jadi, Tuhan ada.

d. Tentang Cara Membicarakan Sifat-Sifat Tuhan
Selain membuktikan adanya Tuhan, Thomas Aquinas juga menjelaskan tentang cara membicarakan Tuhan. Berbicara tentang Tuhan, pada dasarnya kita berbicara mengenai sifat-sifat Tuhan. Dalam hal ini, Thomas Aquinas menyebut “Tiga Jalan” atau “Jalan Triganda” (Triplex Via) untuk membicarakan sifat-sifat Tuhan. Tiga Jalan tersebut bertitik tolak dari ajaran analogia entis, yakni ajaran bahwa ada kesamaan dan perbedaan antara Tuhan selaku pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya. Berdasarkan ajaran analogia entis ini, Aquinas menjelaskan ketiga jalan tersebut.
Pertama, dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan, kita bisa melalui “jalan positif” (via positive) atau “jalan afirmatif” (via affirmativa). Jalan positif ini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Tetapi, sifat manusia yang sama dengan sifat Tuhan adalah sifat baiknya saja. Dalam artian, jika manusia baik, maka Tuhan juga baik. Dengan demikian, Tuhan itu baik, sebagaimana manusia mempraktikkan kebaikan Tuhan. Menurut Aquinas, pada hakikatnya manusia hanya dibekali kebaikan oleh Sang Pencipta. Namun, karena manusia menyalahgunakan kebebasannya, manusia berbuat jahat. Jadi, kejahatan bukanlah hakikat, melainkan akibat yang disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendiri.
Kedua, melaui “jalan negative” (via negative). Jalan negative mengandaikan bahwa antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat manusia memiliki perbedaan. Misalnya, meskipun Tuhan dikatakan memiliki keadilan sebagaimana manusia yang memiliki keadilan, tetapi keadilan Tuhan berbeda dengan keadilan pada manusia. Dengan kata lain, keadilan pada Tuhan tidak dapat diidentikkan dengan keadilan pada manusia.
Ketiga, menggunakan “jalan keunggulan” (via eminentiae). Jalan ini mengetengahkan perbedaan derajat antara Tuhan dan makhluk-Nya. Tuhan selalu mengungguli makhluk-Nya. Jika dikatakan, Pak Guru itu baik, maka Tuhan jauh lebih baik dari pada Pak Guru itu. Tuhan adalah Maha baik.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 2014. Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rahman, M. Arif. 2013. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Jogjakarta: IRCiSoD.
Akal dan Hati pada Abad Pertengahan dengan Tokoh Plotinus, Augustinus dan Thomas Aquinus Akal dan Hati pada Abad Pertengahan dengan Tokoh Plotinus, Augustinus dan Thomas Aquinus Reviewed by Arbor Azure on August 09, 2019 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.