Pembahasan kita kali ini ialah Peradaban Islam pada masa dinasti usmani di Turki. Special Thanks bagi teman-teman yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Selamat membaca semoga bermanfaat.
BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa Turki mempunyai
peran yang sangat penting dalam perkembangan kebudayaan Islam. Peran yang
paling menonjol terlihat dalam politik ketika mereka masuk dalam barisan
tentara professional maupun dalam birokrasi pemerintahan yang bekerja untuk
khalifah-khalifah Banu ‘Abbas. Kemudian, mereka sendiri membangun kekuasaan
yang sekalipun independen tapi masih tetap mengaku loyal kepada khalifah Bani
‘Abbas. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya Banu Saljuq (1038-1194 M).
Independensi dari khilafah Abbasiyah mulai ditunjukkan secara lebih jelas oleh
dinasti Danisymandiyyah (1071-1177 M) dan Qaramaniyyah (1256-1438 M). Setelah
hancurnya Baghdad di tangan Bangsa Mongol, orang-orang Turki semakin
mempertegas kemandirian mereka dalam membangun kekuasaannya sendiri, seperti
yang dilakukan oleh Turki Usmani (1281-1924 M). Bahkan, pengaruh dinasti itu
menjangkau wilayah yang sangat luas termasuk Eropa Timur, Asia Kecil, Asia
Tengah, Timur Tengah, Mesir, dan Afrika Utara.
Munculnya dinasti Turki
Islam terjadi pada saat dunia Islam mengalami fragmentasi kekuasaan pada
periode kedua dari pemerintahan Abbasiyah (kira-kira abad ke-9). Sebelum itu,
sekalipun telah ada kekuasaan Banu Umayyah di Andalusia (755-1031 M) dan Banu
Idris di bagian barat Afrika Utara (788-974 M), fragmentasi itu semakin
menjadi-jadi sejak abad ke-9. Pada abad itu muncul berbagai dinasti, sepeti
Banu Aghlab di Kairawan (800-909 M), Banu Thulun di Mesir (858-905 M), Banu
Saman di Bukhara (874-1001 M), dan Banu Buwayh di Baghdad dan Syiraz (932-1000
M).
Jika benar bahwa Bangsa
Turki Muslim yang pertama-tama membangun dinasti adalah Banu Saljuq, yang mulai
tampak pengaruhnya di Baghdad sebagai pusat dunia Islam pada tahun 1038 M. dan
baru lenyap pada tahun 1307 M. di Rum, maka sesungguhnya dinasti itu berkuasa
hanya di sebagian kecil wilayah Islam. Pada saat yang sama telah lahir
dinasti-dinasti yang lain, seperti al-Murabbithun yang berpusat di Marakesy dan
Seville (1056-1147 M). Banu Ziri di Kairawan (990-1150 M), Fathimiyah di Kairo
(969-1171 M), Ghaznawiyah di Ghaznah (962-1186 M), al-Muwahhidun di Seville dan
Marakesy (1145-1269 M), dan Ayyubiyah di Kairo (1171-1250 M).
Demikian juga, ketika
dari Bangsa Turki lahir Dinasti Usmaniyyah yang berkuasa dalam kurun waktu
terpanjang dalam sejarah Islam (1290-1922 M), di tempat lain berkembang juga
dinasti Islam misalnya Nashriyah yang berkuasa dan berpusat di Granada
(1232-1490 M), Mariniyah di Fez (1216-1470 M), Hafhiyah di Tunisia (1228-1574
M), Mamalik di Kairo (1250-1517 M), Mongol dan penerusnya di Sultanieh dan
Tabriz (1215-1353 M), Kesultanan Delhi (1206-1526 M), Turkman (1378-1506 M),
Timur di Samarkand (1378-1506 M), Shafawi di Sultanih, Qazwin dan Isfahan
(1506-1722 M), dan Mughal di Delhi dan Agra (1526-1858 M).
Pada abad ke -11 dan
ke-12 sejalan dengan kemajuan perdagangan dan industry Eropa mengalami
kebangkitan intelektual. Kontak dengan bangsa Arab di Spanyol dan Sisilia yang
berperadaban tinggi dan juga dengan Emperium Bizantium dan kawasan makmur di
selatan Konstantinopel melahirkan semangat intelektual. Pada abad ke-12 lahir
universitas-universitas di paris, Salerno dan Bologna. Muncul juga Universitas
Oxford dan Cambridge di Inggris.
Setelah masa itu, yakni
abad ke-14 dan ke-15, terjadi perubahan besar di negara-negara Eropa. Inggris
dan Perancis terlibat perang Seratus Tahun. Jerman dan Italia pecah,
Switzerland, dan Belanda melonggarkan hubungan yang mengikat kedua-duanya
dengan Romawi. Di Inggris lahir parlemen, di Perancis dan Spanyol dasar-dasar
monarki absolut dibangun. Polandia menjadi negara besar , dan Rusia secara
pelan-pelan lepas dari abad-abad barbarism. Bizantium mengalami kemunduran dan
akhirnya lenyap pada tahun1453 M, ketika Konstantinopel jatuh ke tangan Turki
Usmani. Italia tetap semata-mata merupakan kumpulan negara-negara bebas. Pada
saat yang sama Eropa mulai melancarkan kebijakan imperialism dan kolonialisme.
Masa itu (abad ke-14 dan ke-15) juga di Eropa lahir kebangkitan budaya dan
revolusi perdagangan, yang karena itu disebut masa Renaissance.
Dengan demikian, tampak
bahwa ketika Turki Usmani mengalami kejayaan politik, di Eropa sedang terjadi
kebangkitan intelektual. Dalam perjalanan selanjutnya dua bangsa itu mengalami
nasib yang berbeda, dimana Turki Usmani pada akhirnya mengalami kemunduran
politik, budaya dan intelektual, dan pada saat yang sama bangsa Eropa tengah
dan barat terus memperluas pengaruhnya melalui penjajahan, yang pada gilirannya
memporakporandakan dunia Islam. Namun demikian, hubungan intelektual terjadi
semakin intens ketika banyak cendekiawan Turki yang belajar ke Eropa, khususnya
Perancis untuk menggali rahasia kemajuan bangsa Eropa. Para cendekiawan itulah
yang akhirnya menjadi pelopor gerakan pembaharuan di Turki.
BAB II
SEJARAH
BERDIRINYA KERAJAAN USMANI
Pendiri kerajaan
ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan
daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira
tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam
sekitar abad kesembilan dan kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di
bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad 13 M. mereka melarikan diri ke
daerah barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara-saudara
mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil. Di sana, di
bawah pimpinan Erthogrhul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II,
Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan
mereka, Sultan Alauddin mendapat tanda di Asia Kecil yang berbatasan dengan
Bizantium. Sejak saat itu, mereka terus membina wilayah barunya dan memilih
kota Syukud sebagai ibu kota.
Kerajaan
Turki Usmani didirikan oleh suku bangsa pengembara yang berasal dari wilayah
Asia Tengah, yang termasuk suku Kayi. Ketika bangsa Mongol menyerang dunia
Islam, pemimpin suku Kayi, Sulaiman Syah, mengajak anggota sukunya untuk
menghindari serbuan bangsa Mongol tersebut dan lari ke arah barat. Bangsa
Mongol itu mulai menyerang dan menaklukkan wilayah Islam yang berada di bawah
kekuasaan dinasti Khwarazm Syah tahun 1219-20. Sulaiman Syah meminta
perlindungan kepada Jalal ad-Din, pemimpin terakhir dinasti Khwarazm Syah
tersebut di Transoksania, sebelum dikalahkan oleh pasukan Mongol. Jalal ad-Din
memberi jalan agar Sulaiman pergi ke barat ke arah Asia Kecil, dan di sanalah
mereka menetap. Sulaiman pindah lagi ke wilayah Syam setelah ancaman Mongol
reda. Dalam usahanya pindah ke negeri Syam itu, pemimpin orang-orang Turki
tersebut mendapat kecelakaan hanyut di sungai Euphrat yang tiba-tiba pasang
karena banjir besar, tahun 1228.
Mereka
akhirnya terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama ingin pulang ke negeri
asalnya, dan yang kedua meneruskan perantauannya ke wilayah Asia Kecil.
Kelompok kedua itu berjumlah sekitar 400 keluarga dipimpin oleh Erthoghrul,
anak Sulaiman. Mereka akhirnya menghambakan dirinya kepada Sultan ‘Alal ad-Din
II dari Turki Saljuq Rum yang pemerintahannya berpusat di Konya, Anatolia, Asia
Kecil. Pada waktu itu bangsa Saljuq yang serumpun dan seagama dengan
orang-orang Turki imigran tadi melihat bahaya bangsa Romawi yang mempunyai
kekuasaan di Kemaharajaan Romawi Timur (Bizantium). Dengan adanya tambahan
pasukan baru dari saudara sebangsanya itu pasukan Saljuq menang atas Romawi.
Sultan gembira dengan kemenangan tersebut dan memberi hadiah kepada Erthoghrul
wilayah yang berbatasan dengan Bizantium. Dengan senang hati Erthoghrul
membangun tanah “perdikan” itu dan berusaha memperluas wilayah dengan merebut
dan merongrong wilayah Bizantium. Mereka menjadikan Sogud sebagai pusat
kekuasaannya. Dinasti Saljuq Rum sendiri sedang surut pada saat itu. Dinasti
tersebut telah berkuasa Anatolia bagian tengah kurang lebih duaratus tahun
lamanya, sejak tahun 1077-1300.
Erthoghrul
mempunyai seorang putra bernama Usman yang diperkirakan lahir tahun 1258. Nama
Usman itulah yang diambil sebagai nama untuk kerajaan Turki Usmani. Erthoghrul
meninggal pada tahun 1280. Usman ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai pemimpin suku bangsa Turki atas persetujuan Sultan Saljuq, yang merasa
gembira karena pemimpin baru itu dapat meneruskan kepemimpinan pendahulunya.
Sultan banyak memberi hak istimewa kepada Usman dan mengangkatnya menjadi
gubernur dengan gelar bey di belakang namanya. Usman juga diperbolehkan untuk
mencetak uang sendiri dan didoakan dalam khutbah Jum’ah. Namun demikian,
sebagian ahli menyebutkan bahwa Usman adalah anak Sauji. Sauji itulah anak
Erthoghrul, sehingga Usman adalah cucunya bukan anaknya. Sauji telah meninggal
sebelum ayahnya meninggal. Ia meninggal dalam perjalanan pulang sehabis memohon
kepada Sultan Saljuq atas perintah ayahnya, Erthoghrul, untuk tinggal menetap
di wilayahnya. Permohonan itu dikabulkan oleh Sultan. Makanya, Erhtoghrul
ketika menerima berita itu sedih bercampur gembira. Sedih karena anaknya
meninggal, dan gembira karena permohonannya untuk menetap di wilayah Saljuq itu
dikabulkan oleh Sultan.
Setelah
menghancurkan Baghdad tahun 1258 bangsa Mongol meneruskan penaklukannya ke arah
utara, termasuk wilayah kekuasaan Saljuq Rum. Sultan Saljuq tidak dapat
mempertahankan diri dan mati terbunuh. Dalam keadaan kosong itulah Usman
memerdekakan diri dan bertahan terhadap serangan bangsa Mongol. Bekas wilayah
Saljuq dijadikan basis kekuasaannya dan para penguasa Saljuq yang selamat dari
pembantaian Mongol mengangkatnya sebagai pemimpin. Peristiwa tersebut
berlangsung kira-kira tahun 1300. Maka, berdirilah kerajaan Usmaniyyah yang
dipimpin oleh Usman yang bergelar Padisyah Alu Usman atau Raja dari Keluarga
Usman. Semangat pasukan Usmani didorong oleh jiwa agama Islam yang berbasis
pada ajaran tarekat Bektasyiyyah yang dipelopori oleh Hajji Bektasy (w. 1297).
Bahkan Usman dijadikan sebagai menantu oleh Syekh Udabali, salah satu guru
tarekat itu dan memberinya gelar al-Ghazi yang diharapkan dapat berjuang terus
di jalan yang lurus, jalan Allah melawan bangsa Rum. Bermodalkan wilayah di
Anatolia Tengah itulah Usmaniyyah dapat mengembangkan sayapnya ke tiga benua,
yakni Asia Kecil, Eropa Timur dan Selatan, serta Afrika Utara.
Selama masa kesultanan Turki Usmani (1299-1942 M), sekitar 625 tahun berkuasa tidak kurang dari 40 Sultan. Dalam hal ini, Syafiq A. Mughni membagi sejarah kekuasaan Turki Usmani menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode pertama (1299-1402), yang
dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara
oleh serangan timur yaitu dari pemerintahan Usman I sampai pemerintahan
Bayazid.
2. Periode kedua (1402-1566), ditandai
dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang
terbesar. Dari masa Muhammad I sampai Sulaiman I.
3. Periode ketiga (1566-1699), periode ini
ditandai dengan kemampuan Usmani untuk mempertahankan wilayahnya. Sampai
lepasnya Honggaria. Namun kemunduran segera terjadi dari masa pemerintahan
Salim II sampai Mustafa II.
4. Periode keempat (1699-1838), periode ini
ditandai dengan
berangsur-angsur surutnya kekuatan kerajaan dan pecahnya wilayah di tangan para
penguasa wilayah, dari masa pemerintahan Ahmad III sampai Mahmud II.
5. Periode kelima (1839-1922) periode ini
ditandai dengan kebangkitan kultural dan administrasi dari negara di bawah
pengaruh ide-ide barat, dari masa pemerintahan Sultan A. Majid I sampai A Majid
II.
Raja-raja Turki Usmani bergelar Sultan
dan Khalifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi dan khalifah
berkuasa di bidang agama atau spiritual. Mereka mendapatkan kekuasaan secara
turun-temurun, tetapi tidak harus putra pertama yang menjadi pengganti sultan
terdahulu. Ada kalanya putra kedua atau putra ketiga dan menggantikan sultan.
Dalam perkembangan selanjutnya pergantian kekuasaan itu juga diserahkan kepada
saudara sultan bukan kepada anaknya. Dengan sistem pergantian kekuasaan yang
demikian itu sering timbul perebutan kekuasaan yang tidak jarang menjadi ajang
pertempuran antara satu pangeran dengan pangeran yang lalinnya, yang
mengakibatkan lemahnya kekuasaan Usmaniyyah.
Dari 39 raja
Turki Usmani ada beberapa raja yang berpengaruh, diantaranya:
1) Sultan Usman bin Ertoghrul (699-726 H/
1294-1326 M)
Pada tahun 699 H. Usman melakukan
perlusan kekuasaannya sampai ke Romawi Bizantium setelah ia mengalahkan
Alauddin Saljuk. Usman diberi gelar sebagai Padisyah Al-Usman (Raja besar
keluarga usman), gelar inilah yang dijuliki sebagi Daulah Usmaniyyah. Usman berusaha
memperkuat tentara dan memajukan negrinya. kepada raja-raja kecil dibuat suatu
peraturan untuk memilih salah satu dari tiga hal, yaitu:
I. Masuk
Islam
II. Membayar
Jizyah; atau
III. Berperang
2) Sultan Urkhan bin Utsman (726-761 H/
1326-1359 M)
Sultan Urkhan adalah putera Utsman
I. Sebelum Urkhan ditetapkan menjadi raja, ia telah
banyak membantu perjuangan ayahnya. Dia telah menjadikan Brousse sebagai ibu
kota kerajaannya.
Pada masa pemerintahannya, dia berhasil
mengalahkan dan menguasai sejumlah kota di selat Dardanil. Tentara baru yang
dibentuk oleh Urkhan I diberi nama Inkisyaiah. Pasukan ini dilengkapi dengan
persenjataan dan pakaian seragam. Di zaman inilah pertama kali dipergunakan
senjata meriam.
3) Sultan Murad I bin Urkhan (761-791 H/ 1359-1389
M)
Pengganti sultan Urkhan adalah Sultan Murad I. Selain memantapkan keamanan di dalam
negrinya, Sultan
juga meneruskan perjuangan dan menaklukkan beberapa daerah ke benua Eropa. Ia
menaklukkan Adrianopel, yang kemudian dijadikan sebagai ibukota kerajaan yang
baru serta membentuk pasukan berkuda (Kaveleri). Perjuangannya terus
dilanjutkan dengan menaklukkan Macedonia, Sophia ibukota Bulgaria, dan seluruh
wilayah bagian utara Yunani.
Karena
banyaknya kota-kota yang ditaklukkan oleh Murad I, pada waktu itu bangsa Eropa
mulai cemas. Akhirnya raja-raja Kristen Balkan meminta bantuan Paus Urban II
untuk mengusir kaum muslimin dari daratan Eropa. Maka peperangan antara pasukan
Islam dan Kristen Eropa pada tahun 765 H (1362 M). Peperangan itu dimenangkan
oleh pasukan Murad I, sehingga Balkan jatuh ke tangan umat Islam. Selanjutnya
pasukan Murad I merayap terus menguasai Eropa Timur seperti Somakov, Sophia
Monatsir, dan Saloniki.
4) Sultan Bayazid I bin Murad ( 791-805 H/
1389-1403 M)
Bayazid adalah putra Murad I. Ia meneruskan
perjuangan ayahnya dengan memperluas wilayahnya seperti Eiden, Sharukan dan
Mutasya di Asia Kecil dan negeri bekas kekuasaan Bani Saluki. Bayazid sangat
besar pengaruhnya, sehingga mencemaskan Paus. Kemudian Paus Bonifacius
mengadakan penyerangan terhadap pasukan Bayazid, dan perangan ini yang
merupakan penyebab terjadinya Perang Salib.
Tentara
Salib ketika itu terdiri dari berbagai bangsa, namun dapat dilumpuhkan oleh pasukan
Bayazid. Namun pada peperangan berikutnya ketika melawan Timur Lenk di Ankara,
Bayazid dapat ditaklukkan, sehingga mengalami kekalahan dan ketika itu Bayazid
bersama putranya Musa tertawan dan wafat dalam tahanan Timur Lenk pada tahun
1403 M.
5) Sultan
Muhammad I bin Bayazid (816-824 H/ 1403-1421 M)
Kekalahan Bayazid membawa akibat
buruk terhadap penguasa-penguasa Islam yang semula berada di bawah kekuasaan
Turki Usmani, sebab satu sama lain berebutan, seperti wilayah Serbia, dan
Bulgeria melepaskan diri dari Turki Usmani. Suasana buruk ini baru berakhir
setelah Sultan Muhammad I putra Bayazid dapat mengatasinya. Sultan Muhammad I
berusaha keras menyatukan kembali negaranya yang telah bercerai berai itu
kepada keadaan semula.
Berkat usahanya yang tidak mengenal
lelah, Sultan Muhammad I dapat mengangkat citra Turki Usmani sehingga dapat
bangkit kembali, yaitu dengan menyusun pemerintahan, memperkuat tentara dan
memperbaiki kehidupan mayarakat. Akan tetapi saat rakyat sedang mengharapkan
kepemimpinannya yang penuh kebijaksanaan itu, pada tahun 824 H (1412 M) Sultan
Muhammad I meninggal.
6) Sultan Murad II bin Muhammad ( 824-855
H/ 1421-1451 M)
Sepeninggalannya Sultan Muhammad I,
pemerintahan diambil alih oleh Sultan Murad II. Cita-citanya adalah melanjutkan
usaha Muhammad I,
yaitu untuk menguasai kembali daerah-daerah yang terlepas dari kerajaan Turki
Usmani sebelumnya. Daerah pertama yang dikuasainya adalah Asia Kecil, Salonika
Albania, Falokh, dan Hongaria.
Setelah bertambahnya beberapa
daerah yang dapat dikuasai tentara Islam, Paus Egenius VI kembali menyerukan
Perang Salib. Tentara Sultan Murad II menderita kekalahan dalam perang salib
itu. Akan tetapi dengan bantuan putranya yang bernama Muhammad, perjuangan
Murad II dapat dilanjutkan kenbali yang pada akhirnya Murad II kembali berjaya
dan keadaan menjadi normal kembali sampai akhir kekuasaan diserahkan kepada
putranya bernama Sultan Muhammad Al-Fatih.
7) Sultan Muhammad Al-Fatih (855-886 H/
1451-1481 M)
Setelah Sultan Murad II meninggal
dunia, pemerintahan kerajaan Turki Usmani dipimpin oleh putranya Muhammad II
atau Muhammad Al-Fatih. Ia diberi gelar Al-fatih karena dapat menaklukkan
Konstantinopel. Muhammad Al-Fatih berusaha membangkitkan kembali sejarah umat
Islam sampai dapat menaklukkan Konstantinopel sebagai ibukota Bizantium.
Konstantinopel adalah kota yang sangat penting dan belum pernah dikuasai
raja-raja Islam sebelumnya.
Muhammad Al-Fatih dianggap sebagi
pembuka pintu bagi perubahan dan perkembangan Islam yang dipimpin Muhammad.
Tiga alasan Muhammad menaklukkan Konstantinopel, yaitu:
I. Dorongan iman kepada
Allah SWT, dan semangat perjuangan berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw untuk
menyebarkan ajaran Islam.
II. Kota Konstantinopel
sebagai pusat kemegahan bangsa Romawi.
III. Negerinya
sangat indah dan letaknya strategis untuk dijadikan pusat kerajaan.
Usaha mula-mula
umat Islam untuk menguasai kota Konstantinopel dengan cara mendirikan benteng
besar dipinggir Bosporus yang berhadapan dengan benteng yang didirikan Bayazid.
Benteng Bosporus ini dikenal dengan nama Rumli Haisar (Benteng Rum). Benteng
yang didirikan umat Islam pada zaman Muhammad Al-Fatih itu dijadikan sebagai
pusat persediaan perang untuk menyerang kota Konstantinopel.
Setelah kota
Konstantinopel dapat ditaklukkan, kota itu dijadikan sebagai ibukota dan
namanya diganti menjadi Istanbul. Jatuhnya kota Konstantinopel ke tangan umat
Islam, berturut-turut pula diikuti oleh penguasaan Negara-negara sekitarnya
seperti Servia, Athena, Mora, Bosnia, dan Italia. Setelah pemerintahan Sultan
Muhammad, berturut-turut kerajaan Islam dipimpin oleh beberapa Sultan, yaitu:
1. Sultan Bayazid II (1481-1512 M)
2. Sultan Salim I (918-926 H/ 1512-1520 M)
3. Sultan Sulaiman (926-974 H/ 1520-1566 M)
4. Sultan Salim II (974-1171 H/ 1566-1573
M)
5. Sultan Murad III ( 1573-1596 M)
Setelah pemerintahan Sultan Murad
III, dilanjutkan oleh 20 orang Sultan Turki Usmani sampai berdirinya Republik
Islam Turki. Akan tetapi kekuasaan sultan-sultan tersebut tidak sebesar
kerajaan-kerajaan sultan-sultan sebelumnya. Para sultan itu lebih suka bersenang-senang,
sehingga melupakan kepentingan perjuangan umat Islam. Akibatnya, dinasti turki
Usmani dapat diserang oleh tentara Eropa, seperti Inggris, Perancis, dan Rusia.
Sehingga kekuasaan Turki Usmani semakin lemah dan berkurang karena beberapa negeri kekuasaannya memisahkan diri, di antaranya
adalah:
1. Rumania melepaskan diri dari Turki
Usmani pada bulan Maret 1877 M.
2. Inggris diizinkan menduduki Siprus bulan
April 1878 M.
3. Bezarabia, Karus, Ardhan, dan Bathum
dikuasai Rusia.
4. Katur kemudian menjadi daerah kekuasaan
Persia.
No
|
Nama Khilafah
|
Tahun Pengangkatan (Masehi)
|
1
|
Usman I
|
1281
|
2
|
Urkhan
|
1324
|
3
|
Murad I
|
1306
|
4
|
Bayazid I
|
1389
|
Peralihan Kekuasaan
|
1402
|
|
5
|
Muhammad I
|
1413
|
6
|
Murad II
|
1421
|
7
|
Muhammad II
|
1444
|
8
|
Murad II (menjabat yang kedua kalinya)
|
1446
|
9
|
Muhammad II (menjabat kedua kalinya)
|
1451
|
10
|
Bayazid II
|
1481
|
11
|
Salim I
|
1512
|
12
|
Sulaiman I
|
1520
|
13
|
Salim II
|
1566
|
14
|
Murad III
|
1574
|
15
|
Muhammad III
|
1594
|
16
|
Ahmad I
|
1603
|
17
|
Musthofa I
|
1617
|
18
|
Usman II
|
1618
|
19
|
Musthofa I (menjabat kedua kalinya)
|
1622
|
20
|
Murad IV
|
1623
|
21
|
Ibrahim
|
1640
|
22
|
Muhammad IV
|
1648
|
23
|
Sulaiman II
|
1678
|
24
|
Ahmad II
|
1691
|
25
|
Musthofa II
|
1695
|
26
|
Ahmad III
|
1703
|
27
|
Mahmud I
|
1730
|
28
|
Utsman III
|
1754
|
29
|
Musthofa III
|
1757
|
30
|
Abdul Hamid I
|
1774
|
31
|
Salim III
|
1789
|
32
|
Musthofa IV
|
1807
|
33
|
Mahmud II
|
1808
|
34
|
Abdul Majid I
|
1839
|
35
|
Abdul Aziz
|
1861
|
36
|
Murad V
|
1876
|
37
|
Muhammad Rasyid V
|
1909
|
38
|
Muhammad Wahid al-Din
|
1918
|
39
|
Abdul Majid II (hanya bergelar sebagai khalifah)
|
1914
|
BAB III
PENAKLUKAN
KONSTANTINOPEL
Konstantinopel,
kota yang hari ini dikenal dengan nama Istambul, Turki. Dulunya berada di bawah
kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks. Tahun 857 H/1453 M, kota
dengan benteng legendaris tak tertembus akhirnya runtuh di tangan Sultan
Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani.
Ibu kota
Bizantium itu akhirnya dapat ditaklukan oleh pasukan Islam di bawah Turki
Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang bergelar al-Fatih, si
penakluk. Telah berkali-kali pasukan Muslim sejak masa Amawiyyah berusaha
menaklukkan Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena kokohnya benteng-benteng
di kota tua itu. Baru pada tahun 1435 kota itu dapat ditundukkan.
Sultan
mempersiapkan penaklukan terhadap kota itu dengan penuh keseriusan. Dipelajari apa
saja yang menyebabkan kegagalan dalam penaklukan-penaklukan sebelumnya. Ia
tidak mau lagi kalah sebagaimana para pendahulunya. Ia membereskan terlebih
dahulu kesempatan yang dinanti-nanti, yakni ketika Kaisar Konstantin IX
mengancam Sultan untuk membayar pajak yang tinggi ke pihaknya, dan kalau tidak
mau akan diganggu kedudukannya dengan mendudukkan Orkhan, salah seorang cucu
Sulaiman, sebagai Sultan. Ancaman itu dihadapi dengan kebulatan tekad, yakni
dengan membuat benteng-benteng itu dibangun untuk melindungi dan mengawasi
rakyatnya yang lalu lalang ke Eropa lewat daerah Bosporus itu.
Konstantinopel
akhirnya dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Sultan Muhammad II yang
berjumlah kira-kira 250.000 di bawah pimpinan Sultan sendiri. Kaisar Bizantium
meminta bantuan kepada Paus di Roma dan raja-raja Kristen Eropa, tetapi tanpa
hasil; bahkan ia dicemooh oleh rakyatnya sendiri karena merendahkan
martabatnya. Raja-raja Eropa juga tidak mau membantunya karena mereka masih
dalam perselisihan yang belum terselesaikan. Hanya pasukan Vinicia saja yang
mau membantu karena mempunyai kepentingan dagang di wilayah Usmani. Tentara
Vinicia itu merintangi kapal-kapal Usmani dengan merentangkan rantai besar di
Selat Borporus. Sultan tidak kehilangan akal, dilayarkanlah kapal-kapal itu di
daratan dengan menggunakan balok-balok kayu untuk landasannya, yang berhasil
memindahkannya ke sisi barat kota. Maka terperanjatlah pasukan Bizantium dengan
taktik Sultan yang telah mengepung kota selama 53 hari. Dalam masa itu
meriam-meriam Turki dimuntahkan ke arah kota dan menghancurkan benteng-benteng
dan dinding-dindingnya sehingga menyerahlah Konstantinopel pada tanggal 28 Mei
1453. Dalam pertempuran
kota itu Kaisar mati terbunuh, dan kota jatuh ke tangan Usmani. Sultan memasuki
kota, kemudian mengganti namanya menjadi
Istanbul, dan menjadikannya sebagai ibu kota. Ia merubah Gereja Aya Sophia
menjadi masjid, dan di samping itu ia membangun masjid dengan nama Masjid
Muhammad sebagai peringatan bagi keberhasilannya dalam menundukkan kota itu.
Pengaruh
jatuhnya Konstantinopel besar sekali bagi Turki Usmani. Kota tua itu adalah
pusat kerajaan Bizantium yang menyimpan banyak ilmu pengetahuan dan menjadi
pusat agama Kristen Orthodoks. Kesemuanya itu diwarisi oleh Usmani. Dari segi
letak, kota itu sangat strategis karena menghubungkan dua benua secara
langsung. Eropa dan Asia. Penaklukan kota itu memudahkan mobilisasi pasukan
dari Anatolia ke Eropa.
Walaupun
para sultan Usmani setelah Sulaiman yang Agung pada umumnya lemah, tetapi
serangan terhadap Eropa masih berlangsung, terutama untuk menaklukkan kota Wina
di Austria. Kota itu dikepung berkali-kali, tetapi tidak dapat dikalahkan. Yang
terakhir kali, kota Wina di Eropa Tengah itu dikepung oleh pasukan Usmani pada
tahun 1683, namun juga tanpa hasil yang memuaskan.
BAB
IV
PERADABAN
ISLAM DI TURKI
A.
Wilayah Turki sebelum
Islam
Situasi yang kita dapatkan di
wilayah yang sekarang berbahasa Turki (Usmani), adalah hasil dari proses
pendudukan dan asimilasi yang sangat panjang dan kompleks. Dari penduduk Turki
dan daerah sekitar yang sekarang berbicara bahasa Turki (Usmani), hanyalah
sebagian kecil yang merupakan keturunan dari orang-orang Turki yang berimigrasi
ke sana, sebaliknya, sebagian besar adalah keturunan dari penduduk asli yang
terturkikan (turkicesed).
Bangsa Turki berasal dari sebuah
rumpun bangsa yang dikenal dengan Ural Altaic, yang disebut juga rumpun bangsa
berkulit kuning. Mereka hidup di kaki pegunungan Altaic, bagian barat dari
padang rumput Mongolia. Penggolongan suku bangsa yang menurunkan bangsa Turki
ini masih tidak jelas, sehingga para ahli banyak yang berbeda pendapat apakah
nenek moyang bangsa ini berasal dari suku Hiung-nu, bangsa Mongol ataukah
campuran bangsa Mongol dan Hiung-nu.
Rumpun bangsa Altaic yang diduga
sebagai asal mula bangsa Turki ini masih memiliki pola hidup yang
berpindah-pindah, sementara budaya mereka masih primitif. Sistem kekuasaan yang mereka lakukan
didasarkan pada aturan adat. Dalam mengatur tata cara kehidupan dan
melaksanakan sangsi social bagi yang melanggar hukum mereka selalu merujuk pada
ketentuan-ketentuan baku yang berlaku pada suku tersebut. Penopang kehidupan
mereka adalah pengembalaan ternak serta melakukan penjarahan terhadap suku-suku
yang lebih lemah. Model kehidupan yang terakhir ini telah memupuk kebanggaan
untuk memiliki keturunan laki-laki. Sejak masa kanak-kanak mereka telah
dibiasakan untuk melakukan permainan yang bisa membentuk watak pemberani dan
tubuh kuat.
Dari segi keyakinan, bangsa Altaic
menganut kepercayaan Syaman. Dalam keyakinan ini para penganutnya menyembah
unsur-unsur alam dengan perantaraan totem dan roh. Menurut kepercayaan mereka,
dengan upacara penyembahan ini orang akan mampu memiliki kekuatan yang dahsyat
yang bisa digunakan untuk maksud baik maupun buruk. Kekuatan ini akan bisa
sempurna bila praktek ritualnya mendapat bimbingan langsung dari orang yang
dianggap sesepuh penganut keyakinan ini. Dengan bimbingan ini pengamal ritus
akan mampu menguasai kekuatan roh orang-orang terkenal yang telah meninggal.
Penyebaran bangsa Turki dengan
berbagai macam elemennya yang meliputi wilayah yang sangat luas telah berdampak
pada hilangnya identitas budaya wilayah yang mereka kuasai. Hal ini disebabkan
oleh adanya pengaruh kuat dari berbagai budaya besar seperti Cina, Persia, dan
Bizantium. Akibatnya, wilayah-wilayah yang berdekatan dengan budaya besar itu
terpengaruh olehnya, sementara mereka yang masih tetap tinggal di wilayah
amtara laut Aral dan Siberia, di mana mereka jauh dari peradaban besar, tetap
menjadi kelompok primitif dan belum mengenal budaya baca-tulis.
Kondisi geografis yang didiami
bangsa Turki saat itu secara umum menuntut pola hidup berpindah-pindah. Situasi
yang semacam ini memunculkan bentuk kehidupan masyarakat yang bersuku-suku,
bermata pencaharian dari mengembala ternak serta suka melakukan ekspansi ke
wilayah lain demi mempertahankan hidup.
Wilayah Timur Tengah merupakan daerah yang terakhir
yang dicapai oleh bangsa Turki dalam gelombang perpindahannya. Terlambatnya
daerah ini dari jarahan bangsa Turki karena adanya benteng pertahanan alami,
yaitu rangkaian pegunungan Hindukusy, pegunungan Elkoz, dan Caucasus yang
membentang dari arah barat ke timur dan menghadang perjalanan bangsa Turki ke
arah barat daya. Benteng alami akhirnya tidak berhasil menahan arus perpindahan
bangsa Turki karena mereka mampu membuat jalan tembus yang menghubungakan
wilayah sungai Jaxartes, yang merupakan bagian utara benteng, dan wilayah Oxus
atau Transoksania yang terletak di bagian selatan benteng. Dari Transoksania
inilah bangsa Turki menapaki jalan yang terbentuk secara alami di padang rumput
hingga bisa mencapai wilayah Iran. Pengalaman ini mendorong bangsa Turki untuk
lebih jauh menjelajahi wilayah Timur Tengah lainnya dengan menggunakan
Transoksania sebagai basis pemberangkatannya.
Hingga abad ke-11 M. sebagian besar dari
kerajaan-kerajaan yang berkuasa di Timur Tengah masih mampu bertahan dari
rongrongan bangsa Turki. Mereka menuju ke wilayah yang sekarang disebut Rusia
dan Eropa Timur yang terletak di bagian barat laut dari kediaman bangsa asli
Turki. Sekelompok bangsa Turki masih berupaya menetap di wilayah itu. Namun,
pada tahun 552 M. kelompok bangsa Turki yang sudah tersentuh budaya maju ini
akhirnya membentuk kerajaan yang struktur organisasinya tak lebih dari sebuah
konfederasi dari suku-suku nomad yang sudah berbudaya dengan nama Gorturk.
Sejak akhir abad ke-7 M. bangsa Turki yang mendiami
wilayah Asia Tengah mulai mengenal agama baru, Islam. Media yang memperkenalkan
mereka dengan Islam adalah adanya hubungan dagang. Bangsa Arab yang piawai
dalam perdagangan di wilayah jalur sutera. Dominasi mereka semakin menonjol
setelah mereka memeluk Islam. Mereka bukan saja melakukan perdagangan tetapi
juga menyebarkan Islam. Karena kontak dagang bangsa Turki yang bertempat
tinggal di bagian selatan wilayah Asia Tenggara ini pedagang Muslim Arab telah
memperkenalkan Islam kepada bangsa Turki. Untuk maksud ini, pedagang-pedagang
Arab memasuki wilayah Turki dengan menembus rute-rute perjalanan baru yang bisa
memberi manfaat bagi pengembangan Islam dan perdagangan. Langkah ini telah
membuat bangsa Turki mengenal Islam melalui perhatian mereka atas budaya dan
praktek agama yang dilakukan oleh bangsa Arab.
Sekalipun pada abad-abad pertama hijrah penaklukan
telah dilakukan ke dalam wilayah Turki, di samping usaha-usaha mempertahankan
diri dari jarahan orang-orang Turki, keberhasilan pasukan Muslim memiliki
sedikit pengaruh terhadap Islamisasi penduduk Turki. Dasar yang diletakkan oleh
Nabi bagi orang-orang Ethiopia diterapkan kepada penduduk Turki: kebebasan
beragama Islam dipeluk oleh orang-orang Turki pada abad ke-4 (ke-10) secara
sukarela. Pada tahun 291 (1904) gelombang terakhir masuknya orang-orang kafir Turki
ke perbatasan wilayah Islam, yakni kerajaan Samaniyyah, dipukul mundur.
Orang-orang Muslim memasuki Bukhara dengan kemenangan untuk pertama kali.
Bahkan yang lebih penting lagi adalah penaklukan Asia Kecil oleh Saljuq pada
abad ke-5 (ke-11). Khotan ditaklukkan pada dekade-dekade awal dari abad ke-5
(ke-11) oleh penguasa-penguasa Muslim Kasyghar. Kemudian, orang-orang Turki
yang tinggal jauh di barat masuk Islam. Menurut Ibn al-Atsir, sekelompok
orang-orang Turki yang biasa tinggal dekat Balasaghun pada musim dingin dan di
sekitar wilayah Bulghars, mungkin di Ural, memeluk Islam pada bulan Shafar 435
(1043). Sekalipun mereka menempati area yang luas, jumlah mereka lebih sedikit
disbanding dengan orang-orang Turki di Asia Tengah yang masuk Islam pada tahun
960. Menurut Ibn al-Atsir, mereka hanya memiliki 10.000 tenda, sedang menurut
Abu al-Fida’ hanya 5.000.
BAB V
KEMUNDURAN TURKI USMAN
Setelah
Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki
fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan
kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti
oleh Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya, terjadi pertempuran
antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari
angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan
sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol.
Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini, Turki
Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh.
Baru pada masa Sultan berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M. Tunisia
dapat direbut kembali.
Walaupun
Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan
hawa nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan
menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibu kota
Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia dan mengalahkan
gubernur Bosnia pada tahun 1593 M. Namun, kehidupan moral Sultan yang buruk
menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Kekacauan ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad
III (1595-1603 M), pengganti Murad III, yang membunuh semua saudara
laki-lakinya yang berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya
sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu,
Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani. Meskipun Sultan Ahmad I (1603-1617
M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam
negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai
memudar. Sesudah
Sultan Ahmad I (1603-1617 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I
(masa pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M)).
Karena gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh Al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan
diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun, yang tersebut terakhir ini juga
tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian, bangsa Persia bangkit
mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak
mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.
Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV
(1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan.
Pasukan Jenissari yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan
tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi
negara secara keseluruhan.
Situasi
politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan
Ibrahim (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini,
orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Usmaniyyah dari
Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu (berasal
dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) pada kedudukan sebagai wasir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang
diberi kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan
mengkonsolidasikan stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661
M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim. Ibrahim menyangka bahwa kekuatan
militernya sudah pulih sama sekali. Karena itu, ia menyerbu Hongaria dan
mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam
pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya, wilayah
Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya,
direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699 M.
terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh
Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg dan Hemenietz,
Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia. Pada
tahun 1770 M. tentara Rusia mengalahkan armada Kerajaan Usmani di sepanjang
pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh
Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya.
Sultan
Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abdul Al-Hamid (1774-1789 M),
seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja, ia
mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II
dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain: (1) Kerajaan Usmani harus
menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi
izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam
dengan Laut Putih, (2) Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
Demikianlah
proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad lebih setelah
ditinggal Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Tidak ada tanda-tanda membaik sampai paroh
pertama abad ke-19 M. Oleh karena itu, satu per satu negeri-negeri di Eropa
yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri
di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap
kekuasaan Kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba
bangkit memberontak. Di Mesir, kelemahan-kelemahan Kerajaan Usmani membuat
Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M.
Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari
Prancis tahun 1798 M. Di Libanon dan Syria, Fakhr Al-Din, seorang pemimpin
Druze, berhasil menguasai Palestina dan pada tahun 1610 M. merampas Ba’albak
dan mengancam Damaskus. Fakhr Al-Din baru menyerah tahun 1635 M. Di Persia, Kerajaan
Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan perlawanan terhadap Kerajaa
Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai pemenang. Sementara itu, di
Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad Ibn
Abd Al-Wahhab yang dikenal dengan gerakan Wahhabiyah dengan penguasa local Ibn
Sa’ud. Mereka berhasil menguasai beberapa daerah di Jazirah Arab dan sekitarnya
di awal paroh kedua abad ke-18 M. Dengan demikian, pemberontakan-pemberontakan
yang terjadi di Kerajaan Usmani ketika ia sedang mengalami kemunduran, bukan
saja terjadi di daerah-daerah yang tidak beragama Islam, tetapi juga di
daerah-daerah yang berpenduduk Muslim. Gerakan-gerakan seperti it uterus
berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa-masa sesudahnya, yaitu pada
abad ke-19 dan ke-20 M. Ditambah dengan gerakan pembaharuan politik di pusat
pemerintahan, Kerajaan Usmani berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada
tahun 1924 M.
Banyak
factor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya
adalah:
1. Wilayah
Kekuasaan yang Sangat Luas
Administrasi pemerintahan bagi suatu negara yang
amat luas wilayahnya sangat rumit dan kompleks, sementara adminstrasi
pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di pihak lain, para penguasa sangat
berambisi menguasai wilayah yang sangat luas, sehingga mereka terlibat perang
terus-menerus dengan berbagai bangsa. Hal ini tentu menyedot banyak potensi
yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun negara.
2. Heterogenitas
Penduduk
Sebagai kerajaan besar, Turki Usmani menguasai
wilayah yang amat luas, mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syria, Hejaz, dan
Yaman di Asia; Mesir, Libya, Tunis, dan Aljazair di Afrika; dan Bulgaria,
Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa. Wilayah yang luas
itu didiami oleh penduduk yang beragam, baik dari segi agama, ras, etnis,
maupun adat-istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beragam dan tersebar di
wilayah yang luas itu, diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang teratur.
Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan Usmani hanya akan
menanggung beban yang berat akibat heterogenitas tersebut. Perbedaan bangsa dan
agama acap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dan peperangan.
3. Kelemahan
Para Penguasa
Sepeninggal Sulaiman Al-Qanuni, Kerajaan Usmani
diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian terutama dalam
kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintahan menjadi kacau. Kekacauan itu tidak
pernah dapat diatasi secara sempurna, bahkan semakin lama menjadi semakin
parah.
4. Budaya
Pungli
Pungli merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi
dalam Kerajaan Usmani. Setiap jabatan yang ingin diraih oleh seseorang harus
“dibayar” dengan sogokan kepada yang berhak memberikan jabatan tersebut.
Berjangkitnya budaya pungli ini mengakibatkan dekadensi moral merajalela yang
membuat pejabat semakin rapuh.
5. Pemberontakan
Tentara Jenissari
Kemajuan ekspansi Kerajaan Usmani banyak ditentukan
oleh kuatnya tentara Jenissari. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana
jika tentara ini memberontak. Pemberontakan tentara Jenissari terjadi sebanyak
empat kali, yaitu pada tahun 1525 M, 1632 M, 1727 M, dan 1826 M.
6. Merosotnya
Ekonomi
Akibat perang yang tak pernah berhenti, perekonomian
negara merosot. Pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar
termasuk untuk biaya perang.
7. Terjadinya
Stagnasi dalam lapangan Ilmu dan Teknologi
Kerajaan Usmani kurang berhasil dalam pengembangan
ilmu dan teknologi, karena hanya mengutamakan pembangunan kekuatan militer.
Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi
menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa
yang lebih maju. Tidak terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam Kerajaan Usmani, ada kaitan dengan perkembangan metode berpikir
tradisional di kalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan menurunnya
semangat berpikiran bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran filsafat sejak
masa Al-Ghazali.
Demikianlah proses kemunduran
kerajaan besar Usmani, pada masa selanjutnya di periode modern, kelemahan
kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatan Eropa tanpa segan-segan menjajah dan
menduduki daerah-daerah Muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.
BAB
VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa peradaban Islam pada masa dinasti Usmani di Turki memiliki
sejarah panjang dengan banyak pemimpin yang tentu saja bisa diteladani dalam
masanya. Peradaban Islam pada masa dinasti Usmani di Turki mengalami
perkembangan yang sangat pesat hingga daerah kekuasaan pada masa itu mencapai
luas wilayah yang sangat luas. Namun, peradaban Islam pada masa dinasti Usmani
di Turki juga mengalami kemunduran salah satu penyebabnya diakibatkan luasnya
wilayah kekuasaan.
B. Kritik dan
Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan semua kalangan. Kami
menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kami
mengharapkan kritik, saran dari pembaca guna pengembangan lebih lanjut makalah
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.Badri Yatim, M.A., Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada 1998, hlm. 76.
Sebagian
besar makalah ini bersumber dari referensi yang tertera di atas, jika ada
pihak yang merasa kami mengutip tulisannya tanpa ijin kami mohon dikonfirmasikan untuk perbaikan tulisan kami selanjutnya.
Makalah Lengkap Peradaban Islam pada Masa Dinasti Usmani di Turki
Reviewed by Arbor Azure
on
February 01, 2017
Rating:
No comments: