Recent Posts

Makalah Lengkap Peradaban Islam pada Masa Dinasti Usmani di Turki

Pembahasan kita kali ini ialah Peradaban Islam pada masa dinasti usmani di Turki. Special Thanks bagi teman-teman yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Selamat membaca semoga bermanfaat.



BAB I
PENDAHULUAN

     Bangsa Turki mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan kebudayaan Islam. Peran yang paling menonjol terlihat dalam politik ketika mereka masuk dalam barisan tentara professional maupun dalam birokrasi pemerintahan yang bekerja untuk khalifah-khalifah Banu ‘Abbas. Kemudian, mereka sendiri membangun kekuasaan yang sekalipun independen tapi masih tetap mengaku loyal kepada khalifah Bani ‘Abbas. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya Banu Saljuq (1038-1194 M). Independensi dari khilafah Abbasiyah mulai ditunjukkan secara lebih jelas oleh dinasti Danisymandiyyah (1071-1177 M) dan Qaramaniyyah (1256-1438 M). Setelah hancurnya Baghdad di tangan Bangsa Mongol, orang-orang Turki semakin mempertegas kemandirian mereka dalam membangun kekuasaannya sendiri, seperti yang dilakukan oleh Turki Usmani (1281-1924 M). Bahkan, pengaruh dinasti itu menjangkau wilayah yang sangat luas termasuk Eropa Timur, Asia Kecil, Asia Tengah, Timur Tengah, Mesir, dan Afrika Utara.
    Munculnya dinasti Turki Islam terjadi pada saat dunia Islam mengalami fragmentasi kekuasaan pada periode kedua dari pemerintahan Abbasiyah (kira-kira abad ke-9). Sebelum itu, sekalipun telah ada kekuasaan Banu Umayyah di Andalusia (755-1031 M) dan Banu Idris di bagian barat Afrika Utara (788-974 M), fragmentasi itu semakin menjadi-jadi sejak abad ke-9. Pada abad itu muncul berbagai dinasti, sepeti Banu Aghlab di Kairawan (800-909 M), Banu Thulun di Mesir (858-905 M), Banu Saman di Bukhara (874-1001 M), dan Banu Buwayh di Baghdad dan Syiraz (932-1000 M). 
      Jika benar bahwa Bangsa Turki Muslim yang pertama-tama membangun dinasti adalah Banu Saljuq, yang mulai tampak pengaruhnya di Baghdad sebagai pusat dunia Islam pada tahun 1038 M. dan baru lenyap pada tahun 1307 M. di Rum, maka sesungguhnya dinasti itu berkuasa hanya di sebagian kecil wilayah Islam. Pada saat yang sama telah lahir dinasti-dinasti yang lain, seperti al-Murabbithun yang berpusat di Marakesy dan Seville (1056-1147 M). Banu Ziri di Kairawan (990-1150 M), Fathimiyah di Kairo (969-1171 M), Ghaznawiyah di Ghaznah (962-1186 M), al-Muwahhidun di Seville dan Marakesy (1145-1269 M), dan Ayyubiyah di Kairo (1171-1250 M).
     Demikian juga, ketika dari Bangsa Turki lahir Dinasti Usmaniyyah yang berkuasa dalam kurun waktu terpanjang dalam sejarah Islam (1290-1922 M), di tempat lain berkembang juga dinasti Islam misalnya Nashriyah yang berkuasa dan berpusat di Granada (1232-1490 M), Mariniyah di Fez (1216-1470 M), Hafhiyah di Tunisia (1228-1574 M), Mamalik di Kairo (1250-1517 M), Mongol dan penerusnya di Sultanieh dan Tabriz (1215-1353 M), Kesultanan Delhi (1206-1526 M), Turkman (1378-1506 M), Timur di Samarkand (1378-1506 M), Shafawi di Sultanih, Qazwin dan Isfahan (1506-1722 M), dan Mughal di Delhi dan Agra (1526-1858 M). 
     Pada abad ke -11 dan ke-12 sejalan dengan kemajuan perdagangan dan industry Eropa mengalami kebangkitan intelektual. Kontak dengan bangsa Arab di Spanyol dan Sisilia yang berperadaban tinggi dan juga dengan Emperium Bizantium dan kawasan makmur di selatan Konstantinopel melahirkan semangat intelektual. Pada abad ke-12 lahir universitas-universitas di paris, Salerno dan Bologna. Muncul juga Universitas Oxford dan Cambridge di Inggris.
    Setelah masa itu, yakni abad ke-14 dan ke-15, terjadi perubahan besar di negara-negara Eropa. Inggris dan Perancis terlibat perang Seratus Tahun. Jerman dan Italia pecah, Switzerland, dan Belanda melonggarkan hubungan yang mengikat kedua-duanya dengan Romawi. Di Inggris lahir parlemen, di Perancis dan Spanyol dasar-dasar monarki absolut dibangun. Polandia menjadi negara besar , dan Rusia secara pelan-pelan lepas dari abad-abad barbarism. Bizantium mengalami kemunduran dan akhirnya lenyap pada tahun1453 M, ketika Konstantinopel jatuh ke tangan Turki Usmani. Italia tetap semata-mata merupakan kumpulan negara-negara bebas. Pada saat yang sama Eropa mulai melancarkan kebijakan imperialism dan kolonialisme. Masa itu (abad ke-14 dan ke-15) juga di Eropa lahir kebangkitan budaya dan revolusi perdagangan, yang karena itu disebut masa Renaissance. 
     Dengan demikian, tampak bahwa ketika Turki Usmani mengalami kejayaan politik, di Eropa sedang terjadi kebangkitan intelektual. Dalam perjalanan selanjutnya dua bangsa itu mengalami nasib yang berbeda, dimana Turki Usmani pada akhirnya mengalami kemunduran politik, budaya dan intelektual, dan pada saat yang sama bangsa Eropa tengah dan barat terus memperluas pengaruhnya melalui penjajahan, yang pada gilirannya memporakporandakan dunia Islam. Namun demikian, hubungan intelektual terjadi semakin intens ketika banyak cendekiawan Turki yang belajar ke Eropa, khususnya Perancis untuk menggali rahasia kemajuan bangsa Eropa. Para cendekiawan itulah yang akhirnya menjadi pelopor gerakan pembaharuan di Turki.





BAB II
SEJARAH BERDIRINYA KERAJAAN USMANI

A. Sejarah Berdirinya Turki Usmani 
          Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan dan kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad 13 M. mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil. Di sana, di bawah pimpinan Erthogrhul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat tanda di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak saat itu, mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota. 
Kerajaan Turki Usmani didirikan oleh suku bangsa pengembara yang berasal dari wilayah Asia Tengah, yang termasuk suku Kayi. Ketika bangsa Mongol menyerang dunia Islam, pemimpin suku Kayi, Sulaiman Syah, mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol tersebut dan lari ke arah barat. Bangsa Mongol itu mulai menyerang dan menaklukkan wilayah Islam yang berada di bawah kekuasaan dinasti Khwarazm Syah tahun 1219-20. Sulaiman Syah meminta perlindungan kepada Jalal ad-Din, pemimpin terakhir dinasti Khwarazm Syah tersebut di Transoksania, sebelum dikalahkan oleh pasukan Mongol. Jalal ad-Din memberi jalan agar Sulaiman pergi ke barat ke arah Asia Kecil, dan di sanalah mereka menetap. Sulaiman pindah lagi ke wilayah Syam setelah ancaman Mongol reda. Dalam usahanya pindah ke negeri Syam itu, pemimpin orang-orang Turki tersebut mendapat kecelakaan hanyut di sungai Euphrat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar, tahun 1228.
Mereka akhirnya terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama ingin pulang ke negeri asalnya, dan yang kedua meneruskan perantauannya ke wilayah Asia Kecil. Kelompok kedua itu berjumlah sekitar 400 keluarga dipimpin oleh Erthoghrul, anak Sulaiman. Mereka akhirnya menghambakan dirinya kepada Sultan ‘Alal ad-Din II dari Turki Saljuq Rum yang pemerintahannya berpusat di Konya, Anatolia, Asia Kecil. Pada waktu itu bangsa Saljuq yang serumpun dan seagama dengan orang-orang Turki imigran tadi melihat bahaya bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan di Kemaharajaan Romawi Timur (Bizantium). Dengan adanya tambahan pasukan baru dari saudara sebangsanya itu pasukan Saljuq menang atas Romawi. Sultan gembira dengan kemenangan tersebut dan memberi hadiah kepada Erthoghrul wilayah yang berbatasan dengan Bizantium. Dengan senang hati Erthoghrul membangun tanah “perdikan” itu dan berusaha memperluas wilayah dengan merebut dan merongrong wilayah Bizantium. Mereka menjadikan Sogud sebagai pusat kekuasaannya. Dinasti Saljuq Rum sendiri sedang surut pada saat itu. Dinasti tersebut telah berkuasa Anatolia bagian tengah kurang lebih duaratus tahun lamanya, sejak tahun 1077-1300.
Erthoghrul mempunyai seorang putra bernama Usman yang diperkirakan lahir tahun 1258. Nama Usman itulah yang diambil sebagai nama untuk kerajaan Turki Usmani. Erthoghrul meninggal pada tahun 1280. Usman ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemimpin suku bangsa Turki atas persetujuan Sultan Saljuq, yang merasa gembira karena pemimpin baru itu dapat meneruskan kepemimpinan pendahulunya. Sultan banyak memberi hak istimewa kepada Usman dan mengangkatnya menjadi gubernur dengan gelar bey di belakang namanya. Usman juga diperbolehkan untuk mencetak uang sendiri dan didoakan dalam khutbah Jum’ah. Namun demikian, sebagian ahli menyebutkan bahwa Usman adalah anak Sauji. Sauji itulah anak Erthoghrul, sehingga Usman adalah cucunya bukan anaknya. Sauji telah meninggal sebelum ayahnya meninggal. Ia meninggal dalam perjalanan pulang sehabis memohon kepada Sultan Saljuq atas perintah ayahnya, Erthoghrul, untuk tinggal menetap di wilayahnya. Permohonan itu dikabulkan oleh Sultan. Makanya, Erhtoghrul ketika menerima berita itu sedih bercampur gembira. Sedih karena anaknya meninggal, dan gembira karena permohonannya untuk menetap di wilayah Saljuq itu dikabulkan oleh Sultan. 
Setelah menghancurkan Baghdad tahun 1258 bangsa Mongol meneruskan penaklukannya ke arah utara, termasuk wilayah kekuasaan Saljuq Rum. Sultan Saljuq tidak dapat mempertahankan diri dan mati terbunuh. Dalam keadaan kosong itulah Usman memerdekakan diri dan bertahan terhadap serangan bangsa Mongol. Bekas wilayah Saljuq dijadikan basis kekuasaannya dan para penguasa Saljuq yang selamat dari pembantaian Mongol mengangkatnya sebagai pemimpin. Peristiwa tersebut berlangsung kira-kira tahun 1300. Maka, berdirilah kerajaan Usmaniyyah yang dipimpin oleh Usman yang bergelar Padisyah Alu Usman atau Raja dari Keluarga Usman. Semangat pasukan Usmani didorong oleh jiwa agama Islam yang berbasis pada ajaran tarekat Bektasyiyyah yang dipelopori oleh Hajji Bektasy (w. 1297). Bahkan Usman dijadikan sebagai menantu oleh Syekh Udabali, salah satu guru tarekat itu dan memberinya gelar al-Ghazi yang diharapkan dapat berjuang terus di jalan yang lurus, jalan Allah melawan bangsa Rum. Bermodalkan wilayah di Anatolia Tengah itulah Usmaniyyah dapat mengembangkan sayapnya ke tiga benua, yakni Asia Kecil, Eropa Timur dan Selatan, serta Afrika Utara.

B. Raja-Raja Turki Usmani 
     Selama masa kesultanan Turki Usmani (1299-1942 M), sekitar 625 tahun berkuasa tidak kurang dari 40 Sultan. Dalam hal ini, Syafiq A. Mughni membagi sejarah kekuasaan Turki Usmani menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode pertama (1299-1402), yang dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan timur yaitu dari pemerintahan Usman I sampai pemerintahan Bayazid.
2. Periode kedua (1402-1566), ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar. Dari masa Muhammad I sampai Sulaiman I.
3. Periode ketiga (1566-1699), periode ini ditandai dengan kemampuan Usmani untuk mempertahankan wilayahnya. Sampai lepasnya Honggaria. Namun kemunduran segera terjadi dari masa pemerintahan Salim II sampai Mustafa II.
4. Periode keempat (1699-1838), periode ini ditandai dengan berangsur-angsur surutnya kekuatan kerajaan dan pecahnya wilayah di tangan para penguasa wilayah, dari masa pemerintahan Ahmad III sampai Mahmud II.
5. Periode kelima (1839-1922) periode ini ditandai dengan kebangkitan kultural dan administrasi dari negara di bawah pengaruh ide-ide barat, dari masa pemerintahan Sultan A. Majid I sampai A Majid II.
      Raja-raja Turki Usmani bergelar Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi dan khalifah berkuasa di bidang agama atau spiritual. Mereka mendapatkan kekuasaan secara turun-temurun, tetapi tidak harus putra pertama yang menjadi pengganti sultan terdahulu. Ada kalanya putra kedua atau putra ketiga dan menggantikan sultan. Dalam perkembangan selanjutnya pergantian kekuasaan itu juga diserahkan kepada saudara sultan bukan kepada anaknya. Dengan sistem pergantian kekuasaan yang demikian itu sering timbul perebutan kekuasaan yang tidak jarang menjadi ajang pertempuran antara satu pangeran dengan pangeran yang lalinnya, yang mengakibatkan lemahnya kekuasaan Usmaniyyah.
Dari 39 raja Turki Usmani ada beberapa raja yang berpengaruh, diantaranya:
1) Sultan Usman bin Ertoghrul (699-726 H/ 1294-1326 M)
Pada tahun 699 H. Usman melakukan perlusan kekuasaannya sampai ke Romawi Bizantium setelah ia mengalahkan Alauddin Saljuk. Usman diberi gelar sebagai Padisyah Al-Usman (Raja besar keluarga usman), gelar inilah yang dijuliki sebagi Daulah Usmaniyyah. Usman berusaha memperkuat tentara dan memajukan negrinya. kepada raja-raja kecil dibuat suatu peraturan untuk memilih salah satu dari tiga hal, yaitu:
I.      Masuk Islam
II.     Membayar Jizyah; atau
III.   Berperang

2) Sultan Urkhan bin Utsman (726-761 H/ 1326-1359 M)
Sultan Urkhan adalah putera Utsman I. Sebelum Urkhan ditetapkan menjadi raja, ia telah banyak membantu perjuangan ayahnya. Dia telah menjadikan Brousse sebagai ibu kota kerajaannya.
Pada masa pemerintahannya, dia berhasil mengalahkan dan menguasai sejumlah kota di selat Dardanil. Tentara baru yang dibentuk oleh Urkhan I diberi nama Inkisyaiah. Pasukan ini dilengkapi dengan persenjataan dan pakaian seragam. Di zaman inilah pertama kali dipergunakan senjata meriam.
3) Sultan Murad I bin Urkhan (761-791 H/ 1359-1389 M)
Pengganti sultan Urkhan adalah Sultan Murad I. Selain memantapkan keamanan di dalam negrinya, Sultan juga meneruskan perjuangan dan menaklukkan beberapa daerah ke benua Eropa. Ia menaklukkan Adrianopel, yang kemudian dijadikan sebagai ibukota kerajaan yang baru serta membentuk pasukan berkuda (Kaveleri). Perjuangannya terus dilanjutkan dengan menaklukkan Macedonia, Sophia ibukota Bulgaria, dan seluruh wilayah bagian utara Yunani.
Karena banyaknya kota-kota yang ditaklukkan oleh Murad I, pada waktu itu bangsa Eropa mulai cemas. Akhirnya raja-raja Kristen Balkan meminta bantuan Paus Urban II untuk mengusir kaum muslimin dari daratan Eropa. Maka peperangan antara pasukan Islam dan Kristen Eropa pada tahun 765 H (1362 M). Peperangan itu dimenangkan oleh pasukan Murad I, sehingga Balkan jatuh ke tangan umat Islam. Selanjutnya pasukan Murad I merayap terus menguasai Eropa Timur seperti Somakov, Sophia Monatsir, dan Saloniki.
4) Sultan Bayazid I bin Murad ( 791-805 H/ 1389-1403 M)
Bayazid adalah putra Murad I. Ia meneruskan perjuangan ayahnya dengan memperluas wilayahnya seperti Eiden, Sharukan dan Mutasya di Asia Kecil dan negeri bekas kekuasaan Bani Saluki. Bayazid sangat besar pengaruhnya, sehingga mencemaskan Paus. Kemudian Paus Bonifacius mengadakan penyerangan terhadap pasukan Bayazid, dan perangan ini yang merupakan penyebab terjadinya Perang Salib.
Tentara Salib ketika itu terdiri dari berbagai bangsa, namun dapat dilumpuhkan oleh pasukan Bayazid. Namun pada peperangan berikutnya ketika melawan Timur Lenk di Ankara, Bayazid dapat ditaklukkan, sehingga mengalami kekalahan dan ketika itu Bayazid bersama putranya Musa tertawan dan wafat dalam tahanan Timur Lenk pada tahun 1403 M.
5) Sultan Muhammad I bin Bayazid (816-824 H/ 1403-1421 M)
Kekalahan Bayazid membawa akibat buruk terhadap penguasa-penguasa Islam yang semula berada di bawah kekuasaan Turki Usmani, sebab satu sama lain berebutan, seperti wilayah Serbia, dan Bulgeria melepaskan diri dari Turki Usmani. Suasana buruk ini baru berakhir setelah Sultan Muhammad I putra Bayazid dapat mengatasinya. Sultan Muhammad I berusaha keras menyatukan kembali negaranya yang telah bercerai berai itu kepada keadaan semula.
Berkat usahanya yang tidak mengenal lelah, Sultan Muhammad I dapat mengangkat citra Turki Usmani sehingga dapat bangkit kembali, yaitu dengan menyusun pemerintahan, memperkuat tentara dan memperbaiki kehidupan mayarakat. Akan tetapi saat rakyat sedang mengharapkan kepemimpinannya yang penuh kebijaksanaan itu, pada tahun 824 H (1412 M) Sultan Muhammad I meninggal.
6) Sultan Murad II bin Muhammad ( 824-855 H/ 1421-1451 M)
Sepeninggalannya Sultan Muhammad I, pemerintahan diambil alih oleh Sultan Murad II. Cita-citanya adalah melanjutkan usaha Muhammad I, yaitu untuk menguasai kembali daerah-daerah yang terlepas dari kerajaan Turki Usmani sebelumnya. Daerah pertama yang dikuasainya adalah Asia Kecil, Salonika Albania, Falokh, dan Hongaria.
Setelah bertambahnya beberapa daerah yang dapat dikuasai tentara Islam, Paus Egenius VI kembali menyerukan Perang Salib. Tentara Sultan Murad II menderita kekalahan dalam perang salib itu. Akan tetapi dengan bantuan putranya yang bernama Muhammad, perjuangan Murad II dapat dilanjutkan kenbali yang pada akhirnya Murad II kembali berjaya dan keadaan menjadi normal kembali sampai akhir kekuasaan diserahkan kepada putranya bernama Sultan Muhammad Al-Fatih.
7) Sultan Muhammad Al-Fatih (855-886 H/ 1451-1481 M)
Setelah Sultan Murad II meninggal dunia, pemerintahan kerajaan Turki Usmani dipimpin oleh putranya Muhammad II atau Muhammad Al-Fatih. Ia diberi gelar Al-fatih karena dapat menaklukkan Konstantinopel. Muhammad Al-Fatih berusaha membangkitkan kembali sejarah umat Islam sampai dapat menaklukkan Konstantinopel sebagai ibukota Bizantium. Konstantinopel adalah kota yang sangat penting dan belum pernah dikuasai raja-raja Islam sebelumnya.
Muhammad Al-Fatih dianggap sebagi pembuka pintu bagi perubahan dan perkembangan Islam yang dipimpin Muhammad. Tiga alasan Muhammad menaklukkan Konstantinopel, yaitu:
I.      Dorongan iman kepada Allah SWT, dan semangat perjuangan berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw untuk menyebarkan ajaran Islam.
II.     Kota Konstantinopel sebagai pusat kemegahan bangsa Romawi.
III. Negerinya sangat indah dan letaknya strategis untuk dijadikan pusat kerajaan.
      Usaha mula-mula umat Islam untuk menguasai kota Konstantinopel dengan cara mendirikan benteng besar dipinggir Bosporus yang berhadapan dengan benteng yang didirikan Bayazid. Benteng Bosporus ini dikenal dengan nama Rumli Haisar (Benteng Rum). Benteng yang didirikan umat Islam pada zaman Muhammad Al-Fatih itu dijadikan sebagai pusat persediaan perang untuk menyerang kota Konstantinopel. 
     Setelah kota Konstantinopel dapat ditaklukkan, kota itu dijadikan sebagai ibukota dan namanya diganti menjadi Istanbul. Jatuhnya kota Konstantinopel ke tangan umat Islam, berturut-turut pula diikuti oleh penguasaan Negara-negara sekitarnya seperti Servia, Athena, Mora, Bosnia, dan Italia. Setelah pemerintahan Sultan Muhammad, berturut-turut kerajaan Islam dipimpin oleh beberapa Sultan, yaitu:
1. Sultan Bayazid II (1481-1512 M)
2. Sultan Salim I (918-926 H/ 1512-1520 M)
3. Sultan Sulaiman (926-974 H/ 1520-1566 M)
4. Sultan Salim II (974-1171 H/ 1566-1573 M)
5. Sultan Murad III ( 1573-1596 M)

     Setelah pemerintahan Sultan Murad III, dilanjutkan oleh 20 orang Sultan Turki Usmani sampai berdirinya Republik Islam Turki. Akan tetapi kekuasaan sultan-sultan tersebut tidak sebesar kerajaan-kerajaan sultan-sultan sebelumnya. Para sultan itu lebih suka bersenang-senang, sehingga melupakan kepentingan perjuangan umat Islam. Akibatnya, dinasti turki Usmani dapat diserang oleh tentara Eropa, seperti Inggris, Perancis, dan Rusia. Sehingga kekuasaan Turki Usmani semakin lemah dan berkurang karena beberapa negeri kekuasaannya memisahkan diri, di antaranya adalah:
1. Rumania melepaskan diri dari Turki Usmani pada bulan Maret 1877 M.
2. Inggris diizinkan menduduki Siprus bulan April 1878 M.
3. Bezarabia, Karus, Ardhan, dan Bathum dikuasai Rusia.
4. Katur kemudian menjadi daerah kekuasaan Persia.

No
Nama Khilafah
Tahun Pengangkatan  (Masehi)
1
Usman I
1281
2
Urkhan
1324
3
Murad I
1306
4
Bayazid I
1389
Peralihan Kekuasaan
1402
5
Muhammad I
1413
6
Murad II
1421
7
Muhammad II
1444
8
Murad II (menjabat yang kedua kalinya)
1446
9
Muhammad II (menjabat kedua kalinya)
1451
10
Bayazid II
1481
11
Salim I
1512
12
Sulaiman I
1520
13
Salim II
1566
14
Murad III
1574
15
Muhammad III
1594
16
Ahmad I
1603
17
Musthofa I
1617
18
Usman II
1618
19
Musthofa I (menjabat kedua kalinya)
1622
20
Murad IV
1623
21
Ibrahim
1640
22
Muhammad IV
1648
23
Sulaiman II
1678
24
Ahmad II
1691
25
Musthofa II
1695
26
Ahmad III
1703
27
Mahmud I
1730
28
Utsman III
1754
29
Musthofa III
1757
30
Abdul Hamid I
1774
31
Salim III
1789
32
Musthofa IV
1807
33
Mahmud II
1808
34
Abdul Majid I
1839
35
Abdul Aziz
1861
36
Murad V
1876
37
Muhammad Rasyid V
1909
38
Muhammad Wahid al-Din
1918
39
Abdul Majid II (hanya bergelar sebagai khalifah)
1914






BAB III
PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL

     Konstantinopel, kota yang hari ini dikenal dengan nama Istambul, Turki. Dulunya berada di bawah kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks. Tahun 857 H/1453 M, kota dengan benteng legendaris tak tertembus akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani. 
     Ibu kota Bizantium itu akhirnya dapat ditaklukan oleh pasukan Islam di bawah Turki Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang bergelar al-Fatih, si penakluk. Telah berkali-kali pasukan Muslim sejak masa Amawiyyah berusaha menaklukkan Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena kokohnya benteng-benteng di kota tua itu. Baru pada tahun 1435 kota itu dapat ditundukkan. 
     Sultan mempersiapkan penaklukan terhadap kota itu dengan penuh keseriusan. Dipelajari apa saja yang menyebabkan kegagalan dalam penaklukan-penaklukan sebelumnya. Ia tidak mau lagi kalah sebagaimana para pendahulunya. Ia membereskan terlebih dahulu kesempatan yang dinanti-nanti, yakni ketika Kaisar Konstantin IX mengancam Sultan untuk membayar pajak yang tinggi ke pihaknya, dan kalau tidak mau akan diganggu kedudukannya dengan mendudukkan Orkhan, salah seorang cucu Sulaiman, sebagai Sultan. Ancaman itu dihadapi dengan kebulatan tekad, yakni dengan membuat benteng-benteng itu dibangun untuk melindungi dan mengawasi rakyatnya yang lalu lalang ke Eropa lewat daerah Bosporus itu. 
     Konstantinopel akhirnya dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Sultan Muhammad II yang berjumlah kira-kira 250.000 di bawah pimpinan Sultan sendiri. Kaisar Bizantium meminta bantuan kepada Paus di Roma dan raja-raja Kristen Eropa, tetapi tanpa hasil; bahkan ia dicemooh oleh rakyatnya sendiri karena merendahkan martabatnya. Raja-raja Eropa juga tidak mau membantunya karena mereka masih dalam perselisihan yang belum terselesaikan. Hanya pasukan Vinicia saja yang mau membantu karena mempunyai kepentingan dagang di wilayah Usmani. Tentara Vinicia itu merintangi kapal-kapal Usmani dengan merentangkan rantai besar di Selat Borporus. Sultan tidak kehilangan akal, dilayarkanlah kapal-kapal itu di daratan dengan menggunakan balok-balok kayu untuk landasannya, yang berhasil memindahkannya ke sisi barat kota. Maka terperanjatlah pasukan Bizantium dengan taktik Sultan yang telah mengepung kota selama 53 hari. Dalam masa itu meriam-meriam Turki dimuntahkan ke arah kota dan menghancurkan benteng-benteng dan dinding-dindingnya sehingga menyerahlah Konstantinopel pada tanggal 28 Mei 1453. Dalam pertempuran kota itu Kaisar mati terbunuh, dan kota jatuh ke tangan Usmani. Sultan memasuki kota, kemudian mengganti namanya menjadi Istanbul, dan menjadikannya sebagai ibu kota. Ia merubah Gereja Aya Sophia menjadi masjid, dan di samping itu ia membangun masjid dengan nama Masjid Muhammad sebagai peringatan bagi keberhasilannya dalam menundukkan kota itu. 
     Pengaruh jatuhnya Konstantinopel besar sekali bagi Turki Usmani. Kota tua itu adalah pusat kerajaan Bizantium yang menyimpan banyak ilmu pengetahuan dan menjadi pusat agama Kristen Orthodoks. Kesemuanya itu diwarisi oleh Usmani. Dari segi letak, kota itu sangat strategis karena menghubungkan dua benua secara langsung. Eropa dan Asia. Penaklukan kota itu memudahkan mobilisasi pasukan dari Anatolia ke Eropa. 
     Walaupun para sultan Usmani setelah Sulaiman yang Agung pada umumnya lemah, tetapi serangan terhadap Eropa masih berlangsung, terutama untuk menaklukkan kota Wina di Austria. Kota itu dikepung berkali-kali, tetapi tidak dapat dikalahkan. Yang terakhir kali, kota Wina di Eropa Tengah itu dikepung oleh pasukan Usmani pada tahun 1683, namun juga tanpa hasil yang memuaskan.




 
  
BAB IV
PERADABAN ISLAM DI TURKI 


A. Wilayah Turki sebelum Islam 
    Situasi yang kita dapatkan di wilayah yang sekarang berbahasa Turki (Usmani), adalah hasil dari proses pendudukan dan asimilasi yang sangat panjang dan kompleks. Dari penduduk Turki dan daerah sekitar yang sekarang berbicara bahasa Turki (Usmani), hanyalah sebagian kecil yang merupakan keturunan dari orang-orang Turki yang berimigrasi ke sana, sebaliknya, sebagian besar adalah keturunan dari penduduk asli yang terturkikan (turkicesed). 
Bangsa Turki berasal dari sebuah rumpun bangsa yang dikenal dengan Ural Altaic, yang disebut juga rumpun bangsa berkulit kuning. Mereka hidup di kaki pegunungan Altaic, bagian barat dari padang rumput Mongolia. Penggolongan suku bangsa yang menurunkan bangsa Turki ini masih tidak jelas, sehingga para ahli banyak yang berbeda pendapat apakah nenek moyang bangsa ini berasal dari suku Hiung-nu, bangsa Mongol ataukah campuran bangsa Mongol dan Hiung-nu.
Rumpun bangsa Altaic yang diduga sebagai asal mula bangsa Turki ini masih memiliki pola hidup yang berpindah-pindah, sementara budaya mereka masih primitif.  Sistem kekuasaan yang mereka lakukan didasarkan pada aturan adat. Dalam mengatur tata cara kehidupan dan melaksanakan sangsi social bagi yang melanggar hukum mereka selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan baku yang berlaku pada suku tersebut. Penopang kehidupan mereka adalah pengembalaan ternak serta melakukan penjarahan terhadap suku-suku yang lebih lemah. Model kehidupan yang terakhir ini telah memupuk kebanggaan untuk memiliki keturunan laki-laki. Sejak masa kanak-kanak mereka telah dibiasakan untuk melakukan permainan yang bisa membentuk watak pemberani dan tubuh kuat.
Dari segi keyakinan, bangsa Altaic menganut kepercayaan Syaman. Dalam keyakinan ini para penganutnya menyembah unsur-unsur alam dengan perantaraan totem dan roh. Menurut kepercayaan mereka, dengan upacara penyembahan ini orang akan mampu memiliki kekuatan yang dahsyat yang bisa digunakan untuk maksud baik maupun buruk. Kekuatan ini akan bisa sempurna bila praktek ritualnya mendapat bimbingan langsung dari orang yang dianggap sesepuh penganut keyakinan ini. Dengan bimbingan ini pengamal ritus akan mampu menguasai kekuatan roh orang-orang terkenal yang telah meninggal.
Penyebaran bangsa Turki dengan berbagai macam elemennya yang meliputi wilayah yang sangat luas telah berdampak pada hilangnya identitas budaya wilayah yang mereka kuasai. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh kuat dari berbagai budaya besar seperti Cina, Persia, dan Bizantium. Akibatnya, wilayah-wilayah yang berdekatan dengan budaya besar itu terpengaruh olehnya, sementara mereka yang masih tetap tinggal di wilayah amtara laut Aral dan Siberia, di mana mereka jauh dari peradaban besar, tetap menjadi kelompok primitif dan belum mengenal budaya baca-tulis.
Kondisi geografis yang didiami bangsa Turki saat itu secara umum menuntut pola hidup berpindah-pindah. Situasi yang semacam ini memunculkan bentuk kehidupan masyarakat yang bersuku-suku, bermata pencaharian dari mengembala ternak serta suka melakukan ekspansi ke wilayah lain demi mempertahankan hidup.

B. Pengembaraan Bangsa Turki
Wilayah Timur Tengah merupakan daerah yang terakhir yang dicapai oleh bangsa Turki dalam gelombang perpindahannya. Terlambatnya daerah ini dari jarahan bangsa Turki karena adanya benteng pertahanan alami, yaitu rangkaian pegunungan Hindukusy, pegunungan Elkoz, dan Caucasus yang membentang dari arah barat ke timur dan menghadang perjalanan bangsa Turki ke arah barat daya. Benteng alami akhirnya tidak berhasil menahan arus perpindahan bangsa Turki karena mereka mampu membuat jalan tembus yang menghubungakan wilayah sungai Jaxartes, yang merupakan bagian utara benteng, dan wilayah Oxus atau Transoksania yang terletak di bagian selatan benteng. Dari Transoksania inilah bangsa Turki menapaki jalan yang terbentuk secara alami di padang rumput hingga bisa mencapai wilayah Iran. Pengalaman ini mendorong bangsa Turki untuk lebih jauh menjelajahi wilayah Timur Tengah lainnya dengan menggunakan Transoksania sebagai basis pemberangkatannya.
Hingga abad ke-11 M. sebagian besar dari kerajaan-kerajaan yang berkuasa di Timur Tengah masih mampu bertahan dari rongrongan bangsa Turki. Mereka menuju ke wilayah yang sekarang disebut Rusia dan Eropa Timur yang terletak di bagian barat laut dari kediaman bangsa asli Turki. Sekelompok bangsa Turki masih berupaya menetap di wilayah itu. Namun, pada tahun 552 M. kelompok bangsa Turki yang sudah tersentuh budaya maju ini akhirnya membentuk kerajaan yang struktur organisasinya tak lebih dari sebuah konfederasi dari suku-suku nomad yang sudah berbudaya dengan nama Gorturk.

C. Islamisasi Bangsa Turki
Sejak akhir abad ke-7 M. bangsa Turki yang mendiami wilayah Asia Tengah mulai mengenal agama baru, Islam. Media yang memperkenalkan mereka dengan Islam adalah adanya hubungan dagang. Bangsa Arab yang piawai dalam perdagangan di wilayah jalur sutera. Dominasi mereka semakin menonjol setelah mereka memeluk Islam. Mereka bukan saja melakukan perdagangan tetapi juga menyebarkan Islam. Karena kontak dagang bangsa Turki yang bertempat tinggal di bagian selatan wilayah Asia Tenggara ini pedagang Muslim Arab telah memperkenalkan Islam kepada bangsa Turki. Untuk maksud ini, pedagang-pedagang Arab memasuki wilayah Turki dengan menembus rute-rute perjalanan baru yang bisa memberi manfaat bagi pengembangan Islam dan perdagangan. Langkah ini telah membuat bangsa Turki mengenal Islam melalui perhatian mereka atas budaya dan praktek agama yang dilakukan oleh bangsa Arab.
Sekalipun pada abad-abad pertama hijrah penaklukan telah dilakukan ke dalam wilayah Turki, di samping usaha-usaha mempertahankan diri dari jarahan orang-orang Turki, keberhasilan pasukan Muslim memiliki sedikit pengaruh terhadap Islamisasi penduduk Turki. Dasar yang diletakkan oleh Nabi bagi orang-orang Ethiopia diterapkan kepada penduduk Turki: kebebasan beragama Islam dipeluk oleh orang-orang Turki pada abad ke-4 (ke-10) secara sukarela. Pada tahun 291 (1904) gelombang terakhir masuknya orang-orang kafir Turki ke perbatasan wilayah Islam, yakni kerajaan Samaniyyah, dipukul mundur. Orang-orang Muslim memasuki Bukhara dengan kemenangan untuk pertama kali. Bahkan yang lebih penting lagi adalah penaklukan Asia Kecil oleh Saljuq pada abad ke-5 (ke-11). Khotan ditaklukkan pada dekade-dekade awal dari abad ke-5 (ke-11) oleh penguasa-penguasa Muslim Kasyghar. Kemudian, orang-orang Turki yang tinggal jauh di barat masuk Islam. Menurut Ibn al-Atsir, sekelompok orang-orang Turki yang biasa tinggal dekat Balasaghun pada musim dingin dan di sekitar wilayah Bulghars, mungkin di Ural, memeluk Islam pada bulan Shafar 435 (1043). Sekalipun mereka menempati area yang luas, jumlah mereka lebih sedikit disbanding dengan orang-orang Turki di Asia Tengah yang masuk Islam pada tahun 960. Menurut Ibn al-Atsir, mereka hanya memiliki 10.000 tenda, sedang menurut Abu al-Fida’ hanya 5.000.





BAB V
KEMUNDURAN TURKI USMAN
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya, terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini, Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh. Baru pada masa Sultan berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M. Tunisia dapat direbut kembali.
Walaupun Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibu kota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M. Namun, kehidupan moral Sultan yang buruk menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Kekacauan ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603 M), pengganti Murad III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya yang berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani. Meskipun Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar. Sesudah Sultan Ahmad I (1603-1617 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I (masa pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M)). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh Al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun, yang tersebut terakhir ini juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian, bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut. Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV (1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan. Pasukan Jenissari yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan.
Situasi politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan Ibrahim (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini, orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil  mengusir orang-orang Turki Usmaniyyah dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) pada kedudukan sebagai wasir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim. Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama sekali. Karena itu, ia menyerbu Hongaria dan mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya, wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699 M. terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia. Pada tahun 1770 M. tentara Rusia mengalahkan armada Kerajaan Usmani di sepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya.
Sultan Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abdul Al-Hamid (1774-1789 M), seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja, ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain: (1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Putih, (2) Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
Demikianlah proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Tidak ada tanda-tanda membaik sampai paroh pertama abad ke-19 M. Oleh karena itu, satu per satu negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak. Di Mesir, kelemahan-kelemahan Kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M. Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Prancis tahun 1798 M. Di Libanon dan Syria, Fakhr Al-Din, seorang pemimpin Druze, berhasil menguasai Palestina dan pada tahun 1610 M. merampas Ba’albak dan mengancam Damaskus. Fakhr Al-Din baru menyerah tahun 1635 M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan perlawanan terhadap Kerajaa Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai pemenang. Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab yang dikenal dengan gerakan Wahhabiyah dengan penguasa local Ibn Sa’ud. Mereka berhasil menguasai beberapa daerah di Jazirah Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18 M. Dengan demikian, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Usmani ketika ia sedang mengalami kemunduran, bukan saja terjadi di daerah-daerah yang tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk Muslim. Gerakan-gerakan seperti it uterus berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa-masa sesudahnya, yaitu pada abad ke-19 dan ke-20 M. Ditambah dengan gerakan pembaharuan politik di pusat pemerintahan, Kerajaan Usmani berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.
Banyak factor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya adalah:
1.      Wilayah Kekuasaan yang Sangat Luas
Administrasi pemerintahan bagi suatu negara yang amat luas wilayahnya sangat rumit dan kompleks, sementara adminstrasi pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di pihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas, sehingga mereka terlibat perang terus-menerus dengan berbagai bangsa. Hal ini tentu menyedot banyak potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun negara.
2.      Heterogenitas Penduduk
Sebagai kerajaan besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libya, Tunis, dan Aljazair di Afrika; dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa. Wilayah yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam, baik dari segi agama, ras, etnis, maupun adat-istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beragam dan tersebar di wilayah yang luas itu, diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan Usmani hanya akan menanggung beban yang berat akibat heterogenitas tersebut. Perbedaan bangsa dan agama acap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dan peperangan.
3.      Kelemahan Para Penguasa
Sepeninggal Sulaiman Al-Qanuni, Kerajaan Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintahan menjadi kacau. Kekacauan itu tidak pernah dapat diatasi secara sempurna, bahkan semakin lama menjadi semakin parah.
4.      Budaya Pungli
Pungli merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam Kerajaan Usmani. Setiap jabatan yang ingin diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada yang berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya pungli ini mengakibatkan dekadensi moral merajalela yang membuat pejabat semakin rapuh.
5.      Pemberontakan Tentara Jenissari
Kemajuan ekspansi Kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya tentara Jenissari. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana jika tentara ini memberontak. Pemberontakan tentara Jenissari terjadi sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1525 M, 1632 M, 1727 M, dan 1826 M.
6.      Merosotnya Ekonomi
Akibat perang yang tak pernah berhenti, perekonomian negara merosot. Pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar termasuk untuk biaya perang.
7.      Terjadinya Stagnasi dalam lapangan Ilmu dan Teknologi
Kerajaan Usmani kurang berhasil dalam pengembangan ilmu dan teknologi, karena hanya mengutamakan pembangunan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju. Tidak terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Kerajaan Usmani, ada kaitan dengan perkembangan metode berpikir tradisional di kalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan menurunnya semangat berpikiran bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran filsafat sejak masa Al-Ghazali.

       Demikianlah proses kemunduran kerajaan besar Usmani, pada masa selanjutnya di periode modern, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatan Eropa tanpa segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah Muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.



BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peradaban Islam pada masa dinasti Usmani di Turki memiliki sejarah panjang dengan banyak pemimpin yang tentu saja bisa diteladani dalam masanya. Peradaban Islam pada masa dinasti Usmani di Turki mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga daerah kekuasaan pada masa itu mencapai luas wilayah yang sangat luas. Namun, peradaban Islam pada masa dinasti Usmani di Turki juga mengalami kemunduran salah satu penyebabnya diakibatkan luasnya wilayah kekuasaan.

B. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan semua kalangan. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kami mengharapkan kritik, saran dari pembaca guna pengembangan lebih lanjut makalah ini.


   
DAFTAR PUSTAKA

Dr.Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada 1998, hlm. 76.
Sebagian besar makalah ini bersumber dari referensi yang tertera di atas, jika ada pihak yang merasa kami mengutip tulisannya tanpa ijin kami mohon dikonfirmasikan untuk perbaikan tulisan kami selanjutnya.

Makalah Lengkap Peradaban Islam pada Masa Dinasti Usmani di Turki Makalah Lengkap Peradaban Islam pada Masa Dinasti Usmani di Turki Reviewed by Arbor Azure on February 01, 2017 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.